LAPORAN
KERJA
PRAKTEK
“ANALISA
EFFICIENCY FURNACE BAJA PROFIL”
Oleh:
NAMA : ABDUL MALIK
NPM
: 3331120017
JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
APRIL
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dari tahun ke tahun, furnace
mengalami kemajuan baik dari segi proses maupun peralatan. Bahan bakar yang
digunakan pun turut berubah. Jika sebelum tahun 1800, mayoritas penggunaan
bahan bakar menggunakan charcoal/arang yang berasal dari kayu, maka setelah
tahun tersebut mulai ramai menggunakan kokas, gas dan listrik. Dengan
perkembangan furnace, tentunya
semakin meningkatkan efisiensi dan
efektivitas proses.
Idealnya furnace
harus memanaskan bahan sebanyak mungkin sampai mencapai suhu yang seragam
dengan bahan bakar sesedikit mungkin. Kunci dari operasi furnace yang efisien
terletak pada pembakaran bahan bakar yang sempurna dengan udara berlebih yang
minim. Furnace beroperasi dengan efisiensi yang relatif rendah (serendah 7
persen) dibandingkan dengan peralatan pembakaran lainnya seperti boiler (dengan
efisiensi lebih dari 90 persen). Hal ini disebabkan oleh suhu operasi yang
tinggi dalam furnace.
Karena
gas buang dari bahan bakar berkontak langsung dengan bahan baku, maka jenis
bahan bakar yang dipilih menjadi penting. Sebagai contoh, beberapa bahan tidak
akan mentolelir sulfur dalam bahan bakar. Bahan bakar padat akan menghasilkan
bahan partikulat yang akan mengganggu bahan baku yang ditempatkan didalam furnace. Untuk alasan ini Hampir seluruh
furnace menggunakan bahan bakar cair, bahan bakar gas atau listrik sebagai
masukan energinya.
Oleh karena itu dalam hal ini mahasiswa ingin
mengangkat topik judul kerja praktek “Analisa Perhitungan Efisiensi Furnace Baja Profil” di PT. KRAKATAU WAJATAMA dimana dalam
analisa energi yang dihasilkan oleh bahan bakar dijadikan pembanding energi
yang di serap oleh bahan baku, sehingga bisa dijadikan referensi untuk
meningkatkan kinerja furnace tersebut.
|
1.2.
Tujuan
Kegiatan
Kerja Praktek (KP) diharapkan dapat menjadi sarana memperluas pengetahuan dan
pemahaman mengenai disiplin ilmu dan aplikasinya, serta memberikan gambaran
umum mengenai kondisi yang nyata pada dunia kerja. Dalam hal ini penulis
melakukan analisa perhitungan efficiency
furnace pada proses preheating baja
profil dengan menggunakan metode langsung, bahan baku yang digunakan adalah billet 18x18x500, 18x18x570, 18x18x435,
15x15x450.
1.3. Batasan Masalah
Ruang
lingkup tinjauan kerja praktek (KP) ini secara umum meliputi seluruh produksi
yang dilakukan oleh PT KRAKATAU WAJATAMA, meliputi bahan baku, proses, dan
produk, Dengan konsentrasi pada divisi produksi baja profil. Dengan pokok
pembahasan di fokuskan pada analisa efficiency
furnace preheating produksi baja profil dangan metode langsung, dengan
menggunakan bahan baku billet 18x18x500, 18x18x570, 18x18x435, 15x15x450.
1.
Studi Literatur
Studi
literatur digunakan untuk mempelajari definisi, teori – teori dan metode –
metode yang digunakan sebagai acuan dalam menyelesaikan permasalahan yang
dibahas.
2.
Observasi
Observasi
merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian. Tahapan ini
dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi tentang PT. Krakatau Wajatama.
3.
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dilakukan dengan melakukan wawancara pada pekerja dan dokumentasi.
4.
Pengolahan Data
Pada
tahap ini penelitia melakukan pengolahan data berdasarkan data yang telah
didapat.
5.
Analisa
Setelah
dilakukan proses pengolahan data, maka tahap selanjutnya adalah analisis data
berdasarkan metode penelitian.
BAB II
TINJAUAN UMUM
PERUSAHAAN
1.1.
Sejarah Perusahaan
Sesuai dengan rencana pembangunan jangka
panjang yang mulai dicanangkan sejak PELITA I tahun 1969, maka pembangunan
industri terus dilakukan secara intensif. Hal itu mengakibatkan kebutuhan akan
bahan-bahan baku, terutama bahan baku untuk industri terus meningkat. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Uni
Soviet mendirikan industri Baja Trikora di Cilegon dalam rangka mencukupi
kebutuhan baja nasional.
PT Krakatau Steel lahir dengan ditandai
oleh keluarnya peraturan pemerintah No. 34 tanggal 31 Agustus 1970 dewasa ini
telah berhasil membuktikan diri sebagai aset nasional yang menjadi tulang
punggung negara dalam pemenuhan kebutuhan baja nasional dan berperan sebagai
salah satu unsur utama perkembangan industri pada khususnya dan ekonomi pada
umumnya. Dalam perkembangan selanjutnya PT Krakatau Steel mampu membuktikan
sebagai pabrik terpadu pertama di Indonesia dan menjadi industri terkemuka
untuk wilayah Asia Tenggara. Pembangunan pabrik baja di Cilegon oleh Pemerintah
yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 20 Mei 1962, berdasarkan
ketetapan MPRS No. II tahun 1960 dengan nama proyek baja Trikora. Tindak lanjut
dari ketetapan MPRS ini adalah dengan ditanda tanganinya kontrak pabrik baja
Cilegon antara Republik Indonesia dengan ALL Union Impact Coorporation (
Tjazpromex Pert of Moscow ) dengan kontrak No. 080 tertanggal 7 Juni 1960.
Namun pembangunan ini terhenti total pada tahun 1965 karena adanya peristiwa G
30 S/PKI menyusul memburuknya hubungan diplomasi Indonesia dan Rusia.
|
Penilaian – penilaian pemerintah melalui badan-badan
Internasional ternyata merupakan saat – saat penting mengawali kelahiran PT
Krakatau Steel pada tahun 1970. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 proyek
Besi Baja kemudian dinamakan PT Krakatau Steel.
Pembangunan Industri Baja ini dimulai dengan memanfaatkan
sisa – sisa peralatan proyek baja tulangan dan baja profil eks baja Trikora.
Sementara itu pembangunan pabrik terus berjalan secara bertahap mulai tahun
yang disusun berdasarkan kebijakan pemerintah sebagaimana dituangkan dalam
Keputusan Presiden No. 30 tahun 1975.
Pada tanggal 27 Juli 1977 pengoperasian pabrik baja tulangan,
pabrik baja profil dan pelabuhan khusus Cigading diresmikan oleh Presiden
Soeharto. Peresmian pertama ini disusul dengan peresmian – peresmian pada
tahun-tahun berikutnya sesuai dengan perkembangan kemajuan yang telah dicapai
oleh PT Krakatau Steel.
PT Krakatau Steel berperan sebagai tulang punggung
perkembangan industri pada khususnya dan perkembangan ekonomi pada umumnya di
Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya keterkaitan sistem “bapak angkat”
dengan beberapa industri kecil sektor logam. Hal ini merupakan kepedulian PT
Krakatau Steel untuk memajukan perindustrian nasional keterkaitan ini
ditekankan pada suplai bahan baku kepada sentra – sentra kecil sehingga dapat
melancarkan proses produksi. Untuk pimpinan PT Krakatau Steel membentuk Team
Vendor Development Program ( VDP ) yang bertugas membuat program konkrit
tentang keterkaitan secara luas melalui SKP No. 37/KPTS. PD –KS/1984 tanggal 3
September 1984 yang anggotanya terdiri dari beberapa divisi seperti: Central
Maintenance, Logistik, Pusat Pengadaan Besi Baja, Engineering, dan
Perencanaan. Secara umum program keterkaitan ini lebih diperluas yaitu berupa
suplai bahan baku, pelatihan serta bimbingan teknis.
PT Krakatau Steel mengadakan perluasan dan modernisasi
fasilitas baik yang langsung maupun tak langsung berhubungan dengan proses
produksi. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan usaha
baik yang terjadi di dalam negeri maupun yang terjadi dipasaran Internasional
serta untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam jangka panjang. Perluasan
yang dimaksud tidak terbatas hanya pada penambahan bangunan, melainkan juga
membentuk anak perusahaan. Pembentukan anak perusahaan dimaksudkan untuk mendukung
aktifitas PT Krakatau Steel dalam mencapai persaingan pasar. Sampai saat ini
anak perusahaan dari PT Krakatau Steel adalah:
1.
PT KHI Pipe Industri : meproduksi pipa baja dengan kapasitas sebesar
120.000 ton / tahun yang disesuaikan dengan permintaan konsumen dan standard
serta spesifikasi internasional.
2. PT Plat Timah
Nusantara ( LATINUSA ) : memproduksi plat timah dengan
kapasitas produksi sebesar 130.000 ton / tahun.
3. PT Krakatau Wajatama
: produksi
baja tulangan dan baja profil
4. PT Krakatau
Engineering Corporation : mengembangkan pusat teknologi
yang baik dan memberikan jasa permesinan, konstruksi bagi sektor industri,
infrastruktur dan energi di Indonesia.
5. PT Krakatau
Industrial Estate Cilegon : mengelola kawasan Industri seluas
kurang lebih 550 hektar.
6. PT Krakatau
Information Technology : memberikan pelayanan di bidang
manufaktur di Indonesia secara “TOTAL SOLUSI” melalui jasa: Factory
Automation, Sistem Management, IT Profesional Service, communication dan
Network serta Value added Service.
7. PT Krakatau Tirta
Industri : untuk penyediaan air minum untuk KS Group dan
masyarakat umum.
8. PT Krakatau Daya
Listrik : anak perusahaanuntuk menyediakan listrik dengan
PLTU 400 MW.
9. PT Krakatau Medika :
pelayanan rumah sakit.
10. PT Krakatau Bandar
Samudra : mengelola pelabuhan laut khusus untuk
eksport-import atau antar pulau.
PT.
Krakatau Wajatama adalah salah satu anak perusahaan PT Krakatau Steel. PT
Krakatau Wajatama pada awalnya membawahi tiga pabrik yaitu, Pabrik Baja
Tulangan ( Bar Mill ), Pabrik Besi Profil ( Section Mill ) dan
Pabrik Kawat Paku ( Cold Wire Drawing ). Namun kini PT Krakatau Wajatama
hanya membawahi dua pabrik saja yaitu, Bar Mill dan Section Mill.
PT.
Krakatau Wajatama adalah perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan akte
notaris Ny. R. Arie Soetardjo SH di Jakarta nomor 96 tanggal 24 Juli 1992, dan
telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusan
No. C2-8933.HT.01.01.TH.92 tanggal 30 Oktober 1992 dan telah diumumkan dalam
Tambahan No.6501 dari Berita Negara Republik Indonesia No.100 tanggal 15
Desember 1992.
Pada
saat ini PT. Krakatau Wajatama telah menjadi produsen baja terkemuka di
Indonesia. Sebagai anak perusahaan PT. Krakatau Steel, perusahaan ini
berkomitmen untuk selalu menghasilkan produk-produk berkualitas tinggi.
Tumbuh dan
berkembangnya PT Krakatau Steel dapat dikatakan tidak lepas dari keberadaan
pabrik yang saat ini terhimpun dalam PT Krakatau Wajatama, begitupun
sebaliknya. Oleh karena itu, PT Krakatau Wajatama adalah sejarah awal PT
Krakatau Steel. ( Gambar 1 )
Gambar 2.1. Krakatau Steel Group
2.2
Visi dan Misi Perusahaan
a.
Visi
·
2015 : Menjadi pemain baja batangan yang terdepan
di pasar domestik.
·
2020 :
Menjadi pemain baja batangan yang diperhitungkan di pasar regional.
b.
Misi
“Kami
adalah perusahaan penyedia steel long
productuntuk kebutuhan konstruksi, infrastruktur, dan industri manufaktur“.
2.3
Pabrik di PT Krakatau Wajatama
Pabrik yang
dimiliki PT Krakatau Wajatama terdiri dari dua (2) pabrik, yaitu:
1.
Bar Mill (Pabrik Baja Tulangan)
Pabrik
Baja Tulangan ini telah beroperasi sejak tahun 1976 yang memiliki kapasitas
produksi 180.000 ton/tahun. Adapun produk yang dihasilkan, antara lain :
a.
Plain Bar (Baja Tulangan Polos)
Ukuran :
10, 12, 16, 19, 22, 25, 29 dan 32 mm
Grade :
BJTP 24, BJTP 30
Standar :ekuivalent
ASTM A 615, ekuivalent JIS G 3112, SNI 2052-07-2002
b.
Deformed Bar(Baja Tulangan Ulir)
Ukuran :
10, 13 16, 19, 22, 25, 29, 32 dan 36 mm
Grade :
BJTS 40, BJTS 50
Standar :
ekuivalent ASTM A 615, ekuivalent JIS G 3112, SNI 2052-07-2002
c.Round Bar
Ukuran :
26,33 dan 57 mm
Grade :
high carbon
Standar : ASTM
(a) (b) (c)
Gambar 2.2. Produk pabrik baja tulangan (a) Deformed Bar, (b) Plain Bardan (c) Round Bar
2.
Section Mill (Pabrik Baja Profil)
Pabrik ini telah beroperasi sejak tahun 1978
yang memiliki kapasitas produksi 150.000 ton/tahun. Adapun produk yang
dihasilkan, antara lain:
a. Equal
Angel (L) : L40, L50, L60, L90, L100, L120, L150
Grade :
BJP 41 (SS 400), BJP 55 (SS 500)
Standar :
ekuivalent JIS G 3101, SNI 07 2054 2006
b. H Beam
(H) :
H 150, H 200, H 250
Grade :
BJP 41 (SS 400)
Standar :
ekuivalent JIS G 3101
c. I Beam :I
100, I 150
Grade :
BJP 41 (SS 400)
Spesifikasi :
ekuivalent JIS G 3101, SNI 07 0329 2006
d. Wide
Flange : WF 150, WF 200, WF 250
Grade :
BJP 41 (SS 400)
Standar :
ekuivalent JIS G 3101, SNI 07 7178 2006
e. Channel
(U) :
U 150, U 200, U 250
Grade :
BJP 41 (SS 400)
Standar :
ekuivalent JIS G 3101, SNI 07 0052 2006
(a) (b) (c) (d)
(e)
Gambar 2.3. Produk pabrik baja profil (a)WF Beam,(b) H Beam,(c) Equal Angle,(d) I Beam dan(e)U chanel)
|
Gambar 2.4.
Struktur Organisasi PT Krakatau Wajatama
2.5 Aktivitas
Perusahaan
2.5.1
Komposisi Karyawan
Status kepegawaian di PT. Krakatau Wajatama dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1. Karyawan Organik
2.
Karyawan Non-Organik
Sedangkan bila ditinjau dari jam kerja karyawan PT.
Krakatau Wajatama dibedakan menjadi dua golongan, yaitu :
1. Karyawan
Non-Shift
Waktu
kerjanya dari pukul 08.00 – 16.30 WIB. Kecuali hari jumat dari pukul 08.00 –
17.00 WIB
2. Karyawan
Shift
Waktu
kerja karyawan ini dibagi menjadi tiga shift, yaitu :
Shift
1 pukul 22.00 – 06.00 WIB
Shift
2 pukul 06.00 – 14.00 WIB
Shift
3 pukul 14.00 – 22.00 WIB
2.5.2
Bidang Usaha
Sesuai dengan pasal 3 Anggran Dasar Perusahaan,
Perusahaan bergerak dalam bidang produksi dan distribusi baja batangan yang
terdiri atas 2 produk yaitu baja tulangan dan baja profil.
2.5.3
Pasar
Pasar produk baja tulangan antara lain pembangunan
property, infrastruktur, industri, utilitas, pertambangan oil and gas, dan
lain-lain. Sedangkan pasar produk baja profil antara lain transmisi listrik,
tower atau menara seluler, dan lain-lain.
2.6 Proses
Produksi
2.6.1
Proses Produksi Baja Tulangan ( Bar Mill )
Produk baja tulangan yang
dihasilkan oleh PT Krakatau Wajatama ada dua jenis, yaitu baja tulangan polos (Plain Bar) dan baja tulangan sirip (Deformed Bar). Baja tulangan yang
diproduksi terdapat dalam beberapa ukuran, untuk baja tulangan polos memiliki
diameter 8,10, 12, 16, 19, 22, 25, 32 dan 36 mm, untuk baja tulangan sirip
memiliki diameter10, 13 16, 19, 22, 25, 29 dan 32 mm, round bar memiliki produk dengan diameter 26,33 dan 50 mm.
Baja tulangan yang
diproduksi haruslah memenuhi standar-standar yang telah ditentukan. Baja
produksi PT Krakatau Wajatama sendiri telah memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI) ataupun ekuivalent dengan standar luar negeri, seperti:
1. JIS
(Jepang)
2. ASTM
(Amerika)
3. BS
(Inggris)
SNI yang digunakan untuk baja tulangan beton adalah SNI
07-2052-2002 yang mencakup mengenai dimensi, komposisi kimia, sifat mekanis,
grade dari baja tulangan dll.
Pada sistem Bar
Mill terdiri dari tiga (3) bagian utama, yaitu:
1. Furnace : Berfungsi
untuk proses pemanasan billet (heating
process)
2. Stand : Berfungsi untuk proses
pengerolan (rolling process)
yang terdiri dari roughing stand, intermediate stand, dan finishing stand.
3. Colling :Berfungsi
sebagai proses akhir (finishing process)
dan juga area packing.
Adapun proses produksi Baja Tulangan dapat dilihat melalui flow chart
berikut:
Gambar 2.5. Proses Produksi Baja Tulangan
2.6.2.
Bahan Baku
Billet adalah bahan baku
yang digunakan untuk produksi baja tulangan. Billet yang digunakan dalam proses
produksi di PT Krakatau Wajatama awalnya mayoritas diperoleh dari PT. Krakatau
Steel, selain itu billet juga diimpor dari negara-negara lain seperti Malaysia,
Rusia, Brazil, Australia, Jepang, Taiwan dan India. Adapun grade billet yang digunakan dalam produksi PT Krakatau Wajatama
adalah sebagai berikut:
1.
Billet yang
berasal dari PT Krakatau Steel memiliki grade
antara lain, KS 1015, KS 1020, KS 1325
V2, KS 1325 V3, KS 1325 V4, KS 1035 SP, KS 1082 B dan KS 1095GB.
2.
Billet yang
diimpor memiliki standar tersendiri, salah satunya Rusia dengan grade antara lain 3 SP, 3 PS, 5 SP dan 5
PS.
Sebelum di proses menjadi
baja tulangan ataupun baja profil billet diletakkan di gudang (yard) dengan kapasitas sekitar 60.000
ton. Billet sebagai bahan baku yang hendak diproses harus melalui tahap
persiapan awal agar tercapai hasil akhir yang sesuai dengan standar produksi.
Proses persiapan itu sendiri meliputi:
1.
Seleksi grade
dan spesifikasi billet
Seleksi ini dilakukan ketika billet tiba di gudang (yard), billet diatur dan disusun sesuai ukuran, kelompok, grade dan
lain-lain untuk memudahkan proses yang selanjutnya.
2.
Incoming
inspection
Pada proses ini dilakukan inspeksi terhadap bahan baku yang diterima,
apakah mengandung cacat atau tidak. Jika diketahui memiliki cacat maka bahan
baku tersebut akan di rejectdan tidak
akan dilakukan proses yang selanjutnya. Tetapi jika bahan baku tidak memiliki
cacat, maka bahan baku akan diproses menjadi produk baja tulangan. Adapun jenis
inspeksi yang dilakukan adalah inspeksi bentuk dan inspeksi permukaan billet
(gambar inspeksi visual dapat dilihat pada lampiran). Dan metode yang digunakan
dengan cara visual dan shulpur print test.
3.
Pemotongan
panjang efektif
Proses ini dilakukan agar billet memiliki ukuran
yang sesuai saat dimasukan ke dalam furnace. Bahan baku (billet) adalah
komponen dengan biaya yang paling tinggi dibandingkan biaya-biaya lain,
sehingga pemakaian billet yang efisien sangat berpengaruh pada biaya rolling(Rolling Cost). Untuk proses rolling di PT Krakatau Wajatama, billet
biasa dipotong dengan ukuran 6 m.
2.6.3.
Proses Pemanasan Billet
Proses pemanasan billet dilakukan dalam dapur (furnace) yang disebut reheating
furnace. Dimana jenis reheating furnace
yang digunakan Pusher Type Furnace, yaitu
billet dimasukan ke dalam dapur dengan cara mendorongnya dengan menggunakan
alat pendorong (pusher) kemudian
billet dikeluarkan dari dapur dengan cara mendorong billet dengan ejector. Proses pemanasan billet di
dalam furnace ini berlangsung selama
1,5 - 2 jam. Suhu furnace yang
digunakan saat pemanasan billet sekitar 12000 – 12500 C
dengan kapasitas maksimum 120 batang yang menggunakan bahan bakar gas.
Furnace tersebut terdiri dari tiga bagian yang merupakan tahap-tahap pemanasan
yang dilakukan pada billet, yaitu:
1. Preheating
Zone, tahap pemanasan awal
billet dengan temperatur 3000 – 5000 C.
2. Heating
Zone, tahapan lanjut dari preheatingdengan temperatur 5000 –
9000 C.
3. Soaking
Zone, pemanasan pada temperatur dimana
billet siap untuk diroling dengan temperatur 9000 – 13000 C.
Furnace yang digunakan oleh PT Krakatau Wajatama dibuat oleh “Priest Furnace Ltd” yang telah
mengalami banyak modifikasi. bahan bakar yang digunakan dalam reheating furnace ini berupa gas.
Sedangkan ukuran billet yang dapat masuk ke dalam furnace adalah 120 x 120 x
6000 mm dengan kapasitas maksimum dapur sebanyak 120 batang dengan kapasitas
furnace 600 – 650 batang sehari yang dibagi menjadi tiga shift dimana tiap
shiftnya sekitar 200-220 batang billet yang dipanaskan dengan berat total
sekitar 300 ton perhari (dalam kondisi normal).
Pada reheating furnace ini
billet dipanaskan sampai mencapai temperatur 12000-12500 C
dan ketika pemanasan tersebut diusahakan pemanasan tersebut temperaturnya homogen
pada seluruh batang billet. Prosesreheating
ini dilakukan untuk memperoleh kondisi lunak pada batang billet, sehingga
dapat mudah untuk dideformasi menjadi bentuk batang yang diinginkan.
a.
Proses Rolling
Proses rolling merupakan proses indirect
compression. Dimana gaya atau beban yang diberikan berasal dari tekanan
roll yang kemudian mendeformasi logam.
Rolling mill yang digunakan di PT Krakatau Wajatam merupakan jenis continous rolling mill dimana terdiri
dari beberapa stand yang disusun secara berurutan (Gambar 6).
Gambar 2.6. Susunan Stand Bar Mill
Berdasarkan pengaturan standnya, rolling
mill yang digunakan PT Krakatau Wajatama merupakan jenis cross country mill. Tipe pengaturan ini
dipilih antara lain berdasarkan pertimbangan efisiensi tempat yang terbatas.
Dimana dengan penerapan cross country
mill, tempat yang tersedia dapat dioptimalkan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sistem rolling line terdiri dari roughing
stand, intermediate stand dan
finishing stand.
1.
Roughing Stand
Merupakan deretan dari beberapa rolling stand yang berfungsi untuk mereduksi billet tahap yang
pertama, sehingga didapatkan hasil ukuran dan bentuk kasar dari produk yang
akan diproses berikutnya.Stand ini terdiri dari tujuh buah stand yaitu stand
1-7 yang disusun 3-2-2 secara seri.Pada bagian akhir roughing stand biasanya terdapat mesin pemotong yang disebut flying shear yang berfungsi untuk
memotong bagian kepala hasil tahap awal sekitar 20 cm, dengan tujuan untuk
menghilangkan ujung baja tulangan yang cacat dan juga memudahkan baja tulangan
untuk masuk ke proses yang selanjutnya. Pada roughing standdilakukan proses pengecilan ukuran penampang billet
dengan output tiap stand dapat dilihat
pada tabel 1 berikut.
Tabel 2.1. Caliber
Pass pada Roughing Stand(baja
tulangan D 16)
Stand No.
|
Pass
|
Bahan Baku
|
|
Stand 1
|
|
Stand 2
|
|
Stand 3
|
|
Stand 4
|
|
Stand 5
|
|
Stand 6
|
|
Stand 7
|
|
2.
Intermediate Stand
Deretan stand yang berfungsi sebagai pereduksi tahap
kedua sehingga didapat hasil ukuran dan bentuk yang mendekati ukuran dan bentuk
produk jadi.Stand ini terdiri dari lima buah stand yaitu stand 8-12.Pada intermediate standdilakukan proses
pembentukan baja tulangan dengan output tiap stand dapat dilihat pada tabel 2
berikut.
Tabel 2.2.Caliber
Pass pada Intermediate Stand(baja
tulanganD 16)
Stand No.
|
Pass
|
Stand 7
|
|
Stand 8
|
|
Stand 9
|
|
Stand 10
|
|
Stand 11
|
|
Stand 12
|
|
3.
Finishing Stand
Deretan stand yang berfungsi untuk pereduksi tahap
akhir sehingga diperoleh ukuran dan bentuk produk jadi.Stand ini terdiri dari
tiga buah stand yaitu stand 13-15. Pada finishing
standini akandilakukan proses penyempurnaan bentuk baja tulangan dengan
output tiap stand dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 2.3. Caliber
Pass pada Finishing Stand (baja
tulangan D 16)
Stand No.
|
Pass
|
Stand 12
|
|
Stand 13
|
|
Stand 14
|
|
Stand 15
|
|
Pada akhir mill terdapat mesin pemotong yaitu flying shear II yang berfungsi untuk memotong batang yang telah
selesai dirolling sesuai dengan panjang yang diinginkan. Setelah proses
pengerolan selesai dan diperoleh produk akhir, maka akan dilakukan proses
pengendalian mutu yaitu dengan melakukan inspeksi terhadap produk akhir di coolling bed dengan pengambilan sampel
kemudian dilakukan pemeriksaan yang meliputi visual, toleransi berat, dimensi
produk dan sifat mekanik produk.
b.
Proses Akhir
Setelah diperoleh produk
akhir maka tahapan proses selanjutnya adalah proses akhir yang meliputi:
1. Pendinginan:
Produk akhir didinginkan di coolling bed dari suhu awal 8000-9000 C
menjadi suhu kamar, kemudian dilakukan pemotongan produk akhir dengan panjang
12 m ataupun sesuai permintaan.
2. Pengikatan dan Pelabelan:
Produk akhir diikat dengan jumlah yang diinginkan
ataupun sesuai pesanan, kemudian bundledari
produk baja tulangan akan diberi label dan dilakukan penyortiran untuk
memisahkan produk yang reject.
3. Penandaan grade produk:
Produk selanjutnya akan diberikan penandaan berupa
warna berdasarkan kelasnya masing-masing. Berikut adalah klasifikasi dari baja
tulangan:
Tabel 2.4. Klasifikasi Baja Tulangan
Kelas baja
|
Warna
|
|
BjTP24
|
|
Hitam
|
BjTP 30
|
BjTS 30
|
Biru
|
|
BjTS 35
|
Merah
|
|
BjTS 40
|
Kuning
|
|
BjTS 50
|
Hijau
|
4. Transfer ke Gudang:
Produk yang telah melalui proses bundling, kemudian akan dikirim ke
Gudang untuk selanjutnya di taruh berdasarkan gradenya.
5. Shipment:
Produk yang telah jadi akan dikirimkan ke konsumen.
2.6.2
Proses Produksi Baja Profil ( Section Mill )
Pada proses produksi baja profil semua proses dilakukan
oleh mesin dan dijalankan oleh operator. Tahapan proses produksi ( Gambar
2.6.2.1 ) diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Reheating
Furnace
Pada tahap ini billet dipanaskan sampai temperatur
1200oC agar billet menjadi lebih lunak sehingga mudah untuk pembentukan.
2. Rolling
Pada tahap ini terdapat 5 stand rolling, disinilah
tahap pembentukan baja dilakukan.
3. Transfer
Bank
Pada tahap ini baja yang selesai dibentuk, produk
ditransfer dengan menuju cooling bed.
4. Cooling Bed
Pada tahap ini baja didinginkan hingga suhu kurang
lebih 600oC – 800oC.
5. Straightening
Machine
Baja tahap ini baja dari cooling bed diluruskan
dengan mesin pelurus dan baja dipotong dengan mesin cold saw. Setelah
itu produk di packing.
Gambar 2.6. Proses
Produksi Baja Profil ( Section Mill ) PT. Krakatau Wajatama
BAB III
TINJAUAN
PUSTAKA
3.1.Landasan
Teori Furnance
3.1.1.
Pengertian
Furnance
Furnace
adalah sebuah peralatan yang digunakan untuk melelehkan logam, untuk pembuatan
bagian mesin (casting) atau untuk memanaskan bahan serta mengubah
bentuknya (misalnya rolling/penggulungan, penempaan) atau merubah
sifat-sifatnya (perlakuan panas).
Karena
gas buang dari bahan bakar berkontak langsung dengan bahan baku, maka jenis
bahan bakar yang dipilih menjadi penting. Sebagai contoh, beberapa bahan tidak
akan mentolelir sulfur dalam bahan bakar. Bahan bakar padat akan menghasilkan
bahan partikulat yang akan mengganggu bahan baku yang ditempatkan didalam furnace.
Untuk alasan ini:
Ø Hampir
seluruh furnace menggunakan bahan bakar cair, bahan bakar gas atau listrik
sebagai masukan energinya.
Ø Furnace
induksi dan busur/arc menggunakan listrik untuk melelehkan baja dan besi
tuang.
Ø Furnace
pelelehan untuk bahan baku bukan besi menggunakan bahan bakar minyak.
Ø Furnace
yang dibakar dengan minyak bakar hampir seluruhnya menggunakan minyak furnace,
terutama untuk pemanasan kembali dan perlakuan panas bahan.
Ø Minyak
diesel ringan (LDO) digunakan dalam furnace bila tidak dikehendaki adanya
sulfur.
Ø
|
Ø seragam
dengan bahan bakar dan buruh sesedikit mungkin. Kunci dari operasi furnace yang
Ø efisien
terletak pada pembakaran bahan bakar yang sempurna dengan udara berlebih yang
Ø minim.
Furnace beroperasi dengan efisiensi yang relatif rendah (serendah 7 persen)
dibandingkan
Ø dengan
peralatan pembakaran lainnya seperti boiler (dengan efisiensi lebih dari 90
persen). Hal
Ø ini
disebabkan oleh suhu operasi yang tinggi dalam furnace. Sebagai contoh, sebuah furnace
yang
Idealnya
furnace harus memanaskan bahan sebanyak mungkin sampai mencapai suhu yang
seragam dengan bahan bakar sesedikit mungkin. Kunci dari operasi furnace yang
efisien terletak pada pembakaran bahan bakar yang sempurna dengan udara
berlebih yang minim. Furnace beroperasi dengan efisiensi yang relatif rendah
(serendah 7 persen) dibandingkan dengan peralatan pembakaran lainnya seperti
boiler (dengan efisiensi lebih dari 90 persen). Hal ini disebabkan oleh suhu
operasi yang tinggi dalam furnace. Sebagai contoh, sebuah furnace yang
memanaskan bahan sampai suhu 1200 oC akan mengemisikan gas buang pada suhu 1200
oC atau lebih yang mengakibatkan kehilangan panas yang cukup signifikan melalui
cerobong.
Seluruh
furnance memiliki komponen-komponen seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.1.
Gambar
3.1. komponen-komponen Furnance
Ø Ruang
refraktori dibangun dari bahan isolasi untuk menahan panas pada suhu operasi
yang tinggi.
Ø Perapian
untuk menyangga atau membawa baja, yang terdiri dari bahan refraktori yang
didukung oleh sebuah bangunan baja, sebagian darinya didinginkan oleh air.
Ø Burners
yang
menggunakan bahan bakar cair atau gas digunakan untuk menaikan dan menjaga suhu
dalam ruangan. Batubara atau listrik dapat digunakan dalam pemanasan ulang / reheating
furnace.
Ø Cerobong
digunakan untuk membuang gas buang pembakaran dari ruangan
Ø Pintu
pengisian dan pengeluaran digunakan untuk pemuatan dan pengeluaran muatan.
Peralatan bongkar muat termasuk roller tables, conveyor, mesin
pemuat dan pendorong furnace.
3.1.2.
Jenis-jenis
Furnance
Furnace
secara luas dibagi menjadi dua jenis berdasarkan metoda pembangkitan panasnya:
furnance pembakaran yang menggunakan bahan bakar, dan furnace listrik yang
menggunakan listrik. Furnace
pembakaran dapat digolongkan menjadi beberapa bagian seperti ditunjukkan dalam
Tabel 3.1. jenis bahan bakar yang digunakan, cara pemuatan bahan baku, cara
perpindahan panasnya dan cara pemanfaatan kembali limbah panasnya. Tetapi,
dalam prakteknya tidak mungkin menggunakan penggolongan ini sebab furnance
dapat menggunakan berbagai jenis bahan bakar, cara pemuatan bahan ke furnance
yang berbeda, dll.
Tabel 3.1. Klasifikasi Furnance
No
|
Metode
klasifikasi
|
Jenis
dan Contoh
|
1
|
Jenis
bahan bakar yang digunakan
|
Dibakar
dengan minyak
|
Dibakar
dengan gas
|
||
Dibakar
dengan batubara
|
||
Dibakar
dengan electric
|
||
2
|
Cara
pengisian bahan
|
Berselang
(intermittent)/ Batch
|
Berkala
Ø Penempaan
Ø Penggulungan
ulang/ re-rolling (batch/pusher)
Ø Pot
|
||
Kontinyu
Ø Pusher
Ø Balok
berjalan
Ø Perapian
berjalan
Ø Furnace
bogie dengan sirkulasi ulang kontinyu
Ø Furnace
perapian berputar/ rotary hearth furnace
|
||
3
|
Cara
perpindahan panas
|
Radiasi
(tempat perapian terbuka)
|
Konveksi
(pemanasan melalui media)
|
||
4
|
Cara
pemanfaatan kembali limbah panas
|
Rekuperatif
|
Regeneratif
|
Gambar
3.2. Furnace jenis Pusher (pendorong)(The Carbon
Trust, 1993)
a. Furnace
Penempaan
Furnace
penempaan digunakan untuk pemanasan awal bilet dan ingot untuk mencapai suhu
‘tempa’. Suhu furnace dicapai pada sekitar 1200 sampai 1250 oC. Furnace
penempaan menggunakan sistim perapian terbuka dan hampir seluruh panasnya
ditransmisikan oleh radiasi. Bebannya biasanya adalah 5 sampai 6 ton dengan
operasi furnace 16 sampai 18 jam setiap harinya. Siklus operasi totalnya dapat
dibagi menjadi (i) waktu pemanasan (ii) waktu perendaman dan (iii) waktu
penempaan. Pemakaian bahan bakar yang spesifik tergantung pada jenis bahan dan
jumlah ‘pemanasan ulang/ reheat’ yang diperlukan.
b. Furnace
re-rolling
mill
1. Jenis batch
Furnace
jenis kotak digunakan sebagai re-rolling mill jenis batch. Furnace
ini terutama digunakan untuk pemanasan skrap, ingot dan bilet kecil yang
beratnya 2 sampai 20 kg untuk rerolling. Bahan dimasukkan dan
dikeluarkan secara manual dan hasil akhirnya berupa batang/ rod, strips,
dll. Suhu operasinya sekitar 1200 oC. Siklus waktunya dapat dikategorikan
lebih lanjut menjadi waktu pemanasan dan waktu re-rolling. Keluaran
rata-rata dari furnace-furnace ini bervariasi dari 180 sampai 280 kg
batubara/ton bahan yang dipanaskan.
2. Jenis
pusher kontinyu
Aliran
proses dan siklus operasi jenis pusher kontinyu sama dengan furnace
jenis batch. Suhu operasinya sekitar 1250 o C. Umumnya, furnace ini
beropeasi selama 8 sampai 10 jam dengan keluaran hasil 20 sampai 25 ton per
hari. Bahan atau stok memanfaatkan kembali sebagian panasnya dalam gas buang
ketika gas buang bergerak turun sepanjang furnace. Penyerapan panas oleh bahan
dalam furnace tergolong lambat, tetap dan seragam diseluruh penampang dibanding
dengan jenis batch.
c.
Furnance
pemanasan ulang yang kontinyu
Dalam
pemanasan ulang/ reheating yang kontinyu, stok baja membentuk aliran
bahan yang kontinyu dan dipanaskan sampai mencapai suhu yang dikehendaki ketika
bahan ini berjalan melalui furnace. Suhu sebatang baja naik antara 900°C dan
1250oC, sampai bahan ini cukup lunak untuk dikempa atau digulung menjadi bentuk
dan ukuran yang dikehendaki. Furnace juga harus memenuhi laju pemanasan stok
yang spesifik untuk alasan metalurgi dan produktivitas. Untuk menjaga
kehilangan energi pada nilai minimum, pintu masukan dan keluaran harus
berukuran minimal dan dirancang untuk menghindari penyusupan udara. Furnace
pemanasan ulang/ reheating kontinyu dapat dikategorikan dengan dua
metoda pengangkutan bahan yang melalui furnace:
Ø Stok
dijaga bersama membentuk aliran bahan yang didorong menuju furnace. Furnace
semacam ini disebut furnace jenis pusher (pendorong).
Ø Stok
ditempatkan pada perap ian yang bergerak/ moving hearth atau struktur
penopang yang mengangkut baja menuju furnace. Furnacenya terdiri dari balok
berjalan, perapian berjalan, furnace bogie dengan sirkulasi ulang yang
kontinyu, dan furnace dengan perapian berputar (rotary hearth furnace).
Gambar 3.3. Furnace dengan Balok
Berjalan (The Carbon Trust 1993)
Gambar 3.4. Furnace dengan Perapian
Berjalan (The Carbon Trust 1993)
Gambar 3.5. Furnace Bogie dengan
Sirkulasi ulang yang Kontinyu (The Carbon Trust, 1993)
Gambar 3.6. Furnace dengan Perapian
Berputar (The Carbon Trust, 1993)
3.1.3.
Kehilangan
Panas yang Mempengaruhi Kinerja Furnace
Idealnya,
seluruh panas yang dimasukkan ke furnace
harus digunakan untuk memanaskan muatan atau stok. Namun demikian dalam
prakteknya banyak panas yang hilang dalam beberapa cara sebagaimana ditunjukkan
dalam Gambar 3.7.
Gambar
3.7. Kehilangan panas dalam furnace
3.1.4.
Instrumen
untuk mengkaji kinerja furnance
Efisiensi
furnace dihitung setelah pengurangan
berbagai kehilangan panas. Dalam rangka untuk mencari efisiensi dengan
menggunakan metoda tidak langsung, berbagai parameter harus diukur seperti
pemakaian minyak furnace setiap jam, keluaran bahan, jumlah udara berlebih,
suhu gas buang, suhu furnace pada berbagai zona, dan yang lain-lainnya. Tangga
l untuk beberapa parameter dapat diperoleh dari catatan produksinya sementara
yang lainnya harus diukur dengan instrumen pemantau khusus. Tabel 3.2 memberi
daftar instrumen yang diperlukan untuk mengukur parameter-parameter tersebut.
Tabel
3.2. Instrumen untuk Pengukuran Kinerja
Furnace
No
|
Parameter
yang diukur
|
Lokasi
pengukuran
|
Intrumen
yang
Diperlukan
|
Nilai
yang
diperlukan
|
1
|
Suhu
zona soaking
furnace
(pemanasan ulang
furnace)
|
Zona
soaking dan dinding tepi
|
Termokopel
Pt/Pt-Rh dengan indikator dan
Perekam
|
1200-1300oC
|
2
|
Suhu
gas buang
|
Dalam
saluran dekat ujung pembuangan, dan jalan masuk ke rekuperator
|
Termokopel
Chromel Alummel dengan indikator
|
700oC
maks.
|
3
|
Suhu
gas buang
|
Setelah
rekuperator
|
Hg
dalam termomete r baja
|
300oC
(maks)
|
4
|
Tekanan
perapian furnace
dalam
zona pemanasan
|
Dekat
ujung pengisian dan
sisi
dinding diatas
perapian
|
Pengukur
tekanan rendah bentuk cincin
|
+0,1
mm of` Wc
|
5
|
Oksigen
dalam gas buang
|
Dalam
saluran dekat ujung
Pembuangan
|
Pemantau
efisiensi bahan bakar untuk oksigen dan suhu
|
5%
O2
|
6
|
Suhu
billet
|
Portable
|
Pyrometer
infra
merah atau pyrometer optik
|
-
|
3.1.5.
Refraktori
Bahan
apapun dapat digambarkan sebagai ‘refraktori’ jika bahan ini dapat bertahan terhadap abrasi atau korosi bahan padat, cair,
atau gas pada suhu tinggi. Karena penggunaannya yang bervariasi dalam berbagai
kondisi operasi, maka pihak manufaktur memproduksi berbagai jenis refraktori
dengan berbagai sifat. Bahan-bahan refraktori dibuat dengan kombinasi dan
bentuk yang bervariasi tergantung pada penggunaannya. Persyaratan-persyaratan
umum bahan refraktori adalah:
Ø Tahan
terhadap suhu tinggi
Ø Tahan
terhadap Perubahan suhu yang mendadak
Ø Tahan
terhadap lelehan terak logam, kaca, gas panas, dll.
Ø Tahan
terhadap beban pada kondisi perbaikan
Ø Tahan
terhadap beban dan gaya abrasi
Ø Menghemat
panas
Ø Memiliki
koefisien ekspansi panas yang rendah
Ø Tidak
boleh mencemari bahan yang bersinggungan
Tabel
3.3. membandingkan sifat-sifat panas bahan refraktori dengan densitas tinggi
dan rendah.
No
|
Sifat
|
Massa
Panas Tinggi
(Refraktori
dengan densitas tinggi)
|
Massa
Panas Rendah
(Serat Keramik)
|
1
|
Konduktivitas panas (W/m K)
|
1.2
|
0.3
|
2
|
Panas jenis (J/kg K)
|
1000
|
100
|
3
|
Densitas (kg/m3)
|
2300
|
130
|
Jenis
refraktori yang digunakan tergantung pada area penggunaannya seperti boiler, furnace,
kiln, oven dll., suhu dan tekanan yang dibutuhkan. Pemasangan refraktori
ditunjukkan dalam Gambar 3.8.
Beberapa sifat-sifat
penting refraktori adalah:
a. Titik
leleh: Bahan-bahan murni meleleh dengan
seketika pada suhu tertentu. Hampir kebanyakan bahan refraktori terdiri dari
partikel yang terikat bersama dan memiliki suhu leleh tinggi. Pada suhu tinggi,
partikel tersebut meleleh dan membentuk terak. Titik leleh refraktori adalah
suhu dimana piramida uji (kerucut) gagal mendukung beratnya sendiri.
b. Ukuran:
Bentuk
dan ukuran refraktori merupakan bagian dari rancangan furnace, karena hal ini
mempengaruhi stabilitas struktur furnace. Ukuran yang tepat sangat penting
untuk memasang bentuk refraktori dibagian dalam furnace dan untuk meminimalkan
ruang antara sambungan konstruksinya.
c. Bulk
density: Bulk density merupakan
sifat refraktori yang penting, yakni jumlah bahan refraktori dalam suatu vo lum
(kg/m3). Kenaikan dalam bulk density refraktori akan menaikan stabilitas
volum, kapasitas panas dan tahanannya terhadap penetrasi terak.
d. Porositas:
Porositas
merupakan volume pori-pori yang terbuka, dimana cairan dapat menembus, sebagai
persentase volum total refraktori. Sifat ini penting ketika refraktori
melakukan kontak dengan terak dan isian yang leleh. Porositas yang nampak rendah
mencegah bahan leleh menembus refraktori. Sejumlah besar pori-pori kecil
biasanya lebih disukai daripada sejumlah kecil pori-pori yang besar.
e. Cold
crushing strength: Cold crushing strength merupakan
resistansi refraktori terhadap kehancuran yang sering terjadi selama
pengiriman. Hal ini hanya keterkaitan tidak langsung terhadap kinerja
refraktori, dan digunakan sebagai salah satu indikator resistansi terhadap
abrasi. Indikator lainnya adalah bulk density dan porositas.
f.
Kerucut pyrometric dan
kerucut pyrometric eqivalen/ Pyrometric Cones Equivalent (PCE):
‘Kerefraktorian’ batu bata (refraktori) adalah suhu dimana refraktori
melengkung yang disebabkan tidak dapat menahan beratnya lagi, Kerucut pyrometric
digunakan di industri keramik untuk menguji kerefraktorian batu bata
(refraktori). Kerucut ini terdiri dari campuran oksida yang dikenal meleleh
pada kisaran suhu yang sempit. Kerucut dengan komposisi berbagai oksida
diletakkan berurutan sesuai dengan suhu lelehnya sepanjang bata refraktori
dalam furnace. Furnace dibakar dan suhunya akan naik. Satu kerucut akan
melengkung bersama bata refraktori. Nilai ini merupakan kisaran suhu dalam oC,
dimana diatas suhu tersebut refraktori tidak dapat digunakan. Hal ini disebut
suhu Kerucut Pyrometric Ekivalen (Gambar 3.9).
Gambar 3.9: Kerucut Pyrometric (Biro
Efisiensi Energi, 2004)
g. Creep
pada suhu tinggi: Creep merupakan
sifat yang tergantung pada waktu, yang menentukan rusaknya bentuk pada waktu
dan suhu yang diberikan pada bahan refraktori dengan penekanan.
h. Stabilitas
volum, pengembangan, dan penyusutan pada suhu tinggi: kontraksi
atau ekspansi refraktori dapat berlangsung selama umur pakai. Perubahan yang
permanen dalam ukurannya dapat disebabkan oleh:
Ø Perubahan
dalam bentuk allotropic, yang dapat menyebabkan perubahan dalam specific
gravity
Ø Reaksi
kimia, yang menghasilkan bahan baru dari specific gravity yang berubah
Ø Pembentukan
fase cair
Ø Reaksi
sintering
Ø Penggabungan
debu dan terak atau karena adanya alkali pada refraktori semen tahan api,
membentuk basa alumina silikat. Hal ini biasanya teramati pada blast furnace.
i.
Ekspansi panas dapat
balik: Bahan apapun akan mengembang jika
dipanaskan, akan menyusut jika didinginkan. Pengembangan/ekspansi panas yang
dapat balik merupakan cerminan perubahan fase yang terjadi selama pemanasan dan
pendinginan.
j.
Konduktivitas panas: Konduktivitas
panas tergantung pada komposisi kimia dan mineral dan kandungan silika pada
refraktori dan pada suhu penggunaan. Konduktivitas biasanya berubah dengan
naiknya suhu. Konduktivitas panas refraktori yang tinggi dikehendaki bila
diperlukan perpindahan panas yang melalui bata, sebagai contoh dalam recuperators,
regenerators, muffles, dll. Konduktivitas panas yang rendah
dikehendaki untuk penghematan panas seperti refraktori yang digunakan sebagai
isolator. Isolasi tambahan dapat menghemat panas namun pada saat yang sama akan
meningkatkan suhu panas permukaan, sesampai diperlukan refraktori yang
berkualitas lebih baik. Oleh sebab itu, atap bagian luar dari furnace dengan perapian
terbuka/ furnace open hearth biasanya tidak diisolasi, karena akan
menyebabkan runtuhnya atap.Refraktori yang ringan dengan konduktivitas panas
yang rendah digunakan secara luas pada furnace perlakuan panas suhu rendah,
sebagai contoh dalam furnace jenis batch dimana kapasitas panas struktur
refraktori yang re ndah meminimalkan panas tersimpan selama siklus pemanasan dan
pendinginan. Refraktori untuk isolasi memiliki konduktivitas panas yang sangat
rendah. Hal ini biasanya dicapai dengan penjebakan sebagian besar udara kedalam
struktur. Beberapa contohnya adalah:
Ø Bahan
yang terjadi secara alami seperti asbes merupakan isolator yang baik namun
bukan merupakan satu-satunya refraktori yang baik.
Ø Wool
mineral yang tersedia yang memadukan sifat isolasi dengan resistansi yang baik
terhadap panas namun bahan ini tidak kaku
Ø Batu
bata berpori yang kaku pada suhu tinggi dan memiliki konduktivitas panas
rendah.
3.1.6.
Jenis
– jenis Refraktori
Refraktori
dapat digolongkan berdasarkan komposisi kimianya, pengguna akhir dan metoda
pembuatannya sebagaimana diperlihatkan dibawah ini.
Tabel 3.4. Klasifikasi Refraktori berdasarkan komposisi kimianya (Diambil
dari Gilchrist)
No
|
Metode klasifikasi
|
Contoh
|
|
Komposisi kimia
|
|
1
|
ASAM, yang
siap bergabung dengan basa
|
Silika,
Semisilika, Aluminosilikat
|
2
|
BASA, terutama
yang
mengandung
oksida logam yang tahan terhadap basa
|
Magnesit,
Khrom- magnesit, Magnesit-chromit, Dolomit
|
3
|
NETRAL, yang
tidak
bergabung
dengan asam ataupun basa
|
Batu
bata tahan api, Khrom, Alumina Murni
|
4
|
Khusus
|
Karbon,
Silikon Karbid, Zirkon
|
5
|
Pengguna Akhir
|
Blast
furnace casting pit
|
6
|
Metoda pembuatan
|
Proses kempa
kering, fused cast, cetakan tangan, pembentukan
normal, ikatan
dengan pembakaran atau secara kimiawi, tidak
dibentuk
(monolitik, plastik, ramming mass, gunning castable,
penyemprotan)
|
a. Refraktori
sementahan api
Batubata
tahan api merupakan bentuk yang umum dari bahan refraktori. Bahan ini digunakan
secara luas dalam industri besi dan baja, metalurgi non besi, industri kaca,
kiln barang tembikar, industri semen, dan masih banyak yang lainnya.
Refraktori
semen tahan api, seperti batu bata tahan api, semen tahan api silika dan
refraktori tanah liat alumunium dengan kandungan silika (SiO2) yang bervariasi
sampai mencapai 78 persen dan kandungan Al2O3 sampai mencapai 44 persen. Tabel
5 memperlihatkan bahwa titik leleh (PCE) batu bata tahan api berkurang dengan
meningkatnya bahan pencemar dan menurunkan Al2O3. Bahan ini seringkali
digunakan dalam furnace, kiln dan kompor sebab bahan tersebut tersedia banyak
dan relatif tidak mahal.
Tabel
3.5. Sifat-sifat batu bata tahan api (BEE,
2005)
No
|
Jenis
batu bata
|
Persentase
SiO2
|
Persentase
Al2O3
|
Persentase
kandungan
lainnya
|
PCE
oC
|
1
|
Super
Duty
|
49-53
|
40-44
|
5-7
|
1745-1760
|
2
|
High
Duty
|
50-80
|
35-40
|
5-9
|
1690-1745
|
3
|
Menengah
|
60-70
|
26-36
|
5-9
|
1640-1680
|
4
|
High
Duty (Silika)
|
65-80
|
18-30
|
3-8
|
1620-1680
|
5
|
Low
Duty
|
60-70
|
23-33
|
6-10
|
1520-1595
|
b.
Refraktori alumina tinggi
Refraktori
silikat alumina yang mengandung lebih dari 45 persen alumina biasanya dikatakan
sebagai bahan-bahan alumina tinggi. Konsentrasi alumina berkisar dari 45 sampai
100 persen. Penerapan refraktori alumina tinggi meliputi perapian dan batang as
furnace hembus, kiln keramik, kiln semen, tangki kaca dan wadah tempat melebur
berbagai jenis logam.
c.
Batu bata silika
Batu bata silika (atau
Dinas) merupakan suatu refraktori yang mengandung paling sedikit 93 persen
SiO2. Bahan bakunya merupakan batu yang berkualitas. Batu bata silika berbagai
kelas memiliki penggunaan yang luas dalam furnace pelelehan besi dan baja dan industri
kaca. Sebagai tambahan terhadap refraktori jenis multi dengan titik fusi yang
tinggi, sifat penting lainnya adalah ketahanannya yang tinggi terhadap kejutan
panas (spalling) dan kerefraktoriannya. Sifat batu bata silika yang
terkemuka adalah bahwa bahan ini tidak melunak pada beban tinggi sampai titik
fusi terdekati. Sifat ini sangat berlawanan dengan beberapa refraktori lainnya,
contohnya bahan silikat alumina, yang mulai berfusi dan retak pada suhu jauh
lebih rendah dari suhu fusinya. Keuntungan lainnya adalah tahanan flux dan stag,
stabilitas volum dan tahanan spalling tinggi.
d.
Magnesit
Refraktori magnesit
merupakan bahan baku kimia, yang mengandung paling sedikit 85 persen magnesium
oksida. Tersusun dari magnesit alami (MgCO3). Sifat-sifat refraktori magnesit
tergantung pada konsentrasi ikatan silikat pada suhu operasi. Magnesit kualitas
bagus biasanya dihasilkan dari perbandingan CaO-SiO2 yang kurang dari dua
dengan konsentrasi ferrit yang minimum, terutama jika furnace yang dilapisi
refraktori beroperasi pada kondisi oksidasi dan reduksi. Perlawanan terak
sangat tinggi terutama terhadap kapur dan terak yang kaya dengan besi.
e.
Refraktori Khromit
Dibedakan dua jenis refraktori khromit:
Ø Refraktori
Khrom- magnesit, yang biasanya mengandung 15-35 persen Cr2O3 dan 42-50 persen
MgO. Senyawa-senayawa tersebut dibuat dengan kualitas yang bermacam- macam dan
digunakan untuk membentuk bagian-bagian kritis pada furnace bersuhu
tinggi.Bahan tersebut dapat tahan terhadap terak dan gas yang korosif dan memiliki
sifat refaktori yang tinggi.
Ø Refraktori
Magnesit-khromit, yang mengandung paling sedikit 60 persen MgO dan 8-18 persen
Cr2O3. Bahan tersebut cocok untuk pelayanan pada suhu paling tinggi dan untuk
kontak dengan terak/slag yang sangat dasar yang digunakan dalam
peleburan baja. Magnesitkhromit biasanya memiliki tahanan spalling yang
lebih baik daripada khrom- magnesit.
f.
Refraktori Zirkonia
Zirkonium dioksida
(ZrO2) merupakan bahan polymorphic. Penting untuk menstabilkan bahan ini
sebelum penggunaannya sebagai refraktori, yang dicapai dengan mencampurkan
sejumlah kecil kalsium, magnesium dan cerium oksida, dll. Sifatnya tergantung
terutama pada derajat stabilisasi, jumlah penstabil/stabiliser dan jumlah bahan
baku orisinalnya. Refraktori zirkonia memiliki kekuatan yang sangat tinggi pada
suhu kamar, yang dicapai sampai suhu setinggi 15000C. Oleh karenanya bahan
tersebut berguna sebagai bahan konstruksi bersuhu tinggi dalam furnace dan
kiln. Konduktivitas panas zirkonium dioksid lebih rendah dari kebanyakan refraktori
oleh karena itu bahan ini digunakan sebagai refraktori isolasi suhu tinggi.
Zirkonia memperlihatkan kehilangan panas yang sangat rendah dan tidak bereaksi
dengan logam cair, dan terutama berguna untuk pembuatan wadah tempat melebur
logam pada refraktori dan tempat lainnya untuk keperluan metalurgi. Furnace
kaca menggunakan zirkonia sebab bahan ini tidak mudah basah oleh kaca yang
meleleh dan tidak mudah bereaksi dengan kaca.
g.
Refraktori oksida (Alumina)
Bahan refraktori
alumina yang terdiri dari alumunium oksida dengan sedikit kotoran dikenal
sebagai alumina murni. Alumina merupakan satu dari bahan kimia oksida yang
dikenal paling stabil. Bahan ini secara mekanis sangat kuat, tidak dapat larut
dalam air, steam lewat jenuh, dan hampir semua asam inorganik dan
alkali. Sifatnya membuatnya cocok untuk pembentukan wadah tempat melebur logam
untuk fusi sodium karbonat, sodium hidroksida dan sodium peroksida. Bahan ini
memiliki tahanan tinggi dalam oksidasi dan reduksi pada kondisi atmosfir.
Alumina digunakan dalam industri dengan proses panas. Alumina yang sangat
berpori digunakan untuk melapisi furnace dengan suhu operasi sampai mencapai
1850oC.
h.
Monolitik
Refraktori
monolitik adalah sebuah cetakan tunggal dalam pembentukan peralatan, seperti
sendok besar seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 9. Refraktori ini secara
cepat menggantikan refraktori jenis kovensional dalam banyak digunakan termasuk
furnace-furnace industri. Keuntungan utama monolitik adalah:
Ø Penghilangan sambungan yang merupakan titik kelemahan
Ø Metoda penggunaannya lebih cepat
Ø Tidak diperlukan keakhlian khusus untuk pemasangannya
Ø Mudah dalam penanganan dan pengangkutan
Ø Cakupan yang lebih baik untuk mengurangi waktu penghentian dalam
perbaikan
Ø Cakupannya sungguh mengurangi tempat penyimpanan dan menghilangkan
bentuk khusus
Ø Penghematan panas
Ø Tahanan spalling yang lebih baik
Ø Stabilitas volum yang lebih besar
Penempatan
monolitik menggunakan berbagai macam metoda, seperti ramming, penuangan, gunniting, penyemprotan, dan sand slinging. Ramming memerlukan tool
yang baik dan kebanyakan digunakan pada penggunaan dingin dimana penggabungan
bahan merupakan hal yang penting. Dikarenakan semen kalsium aluminat merupakan bahan
pengikat, maka bahan ini harus disimpan secara benar untuk mencegah penyerapan kadar air.
Kekuatannya mulai
berkurang setelah 6 sampai 12 bulan.
Gambar 3.10. Pelapisan Monolitik untuk Ladel
3.1.7.
Bahan
– bahan Isolasi
Bahan-bahan
isolasi sangat mengurangi kehilangan panas yang melalui dinding. Isolasi
dicapai dengan memberikan sebuah lapisan bahan yang memiliki konduktivitas
panas rendah antara permukaan panas dibagian dalam furnace dan permukaan luar,
jadi menjaga suhu permukaan luar tetap rendah. Bahan-bahan isolasi dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
Ø Batu
bata isolasi
Ø Castables
isolasi
Ø Serat
keramik
Ø Kalsium
silikat
Ø Pelapis
keramik
Bahan-bahan isolasi memiliki
konduktivitas yang rendah terhadap pori-porinya sementara kapasitas panasnya
tergantung pada bulk density dan panas jenisnya. Bahan isolasi udara
terdiri dari pori-pori yang sangat kecil dan diisi oleh udara, yang memiliki
konduktivitas panas sangat rendah. Panas berlebih merugikan seluruh bahan
isolasi, namun pada suhu berapa hal ini terjadi sangat bervariasi. Oleh karena
itu pemilihan bahan isolasi harus didasarkan pada kemampuannya menahan
konduktivitas panas dan pada suhu tertinggi dimana bahan ini maíz dapat
bertahan. Salah satu bahan isolasi yang paling banyak digunakan adalah diatomite,
juga dikenal dengan kiesel guhr, yang terdiri dari sejumlah massa
kerangka tanaman air yang sangat kecil yang terendapkan ribuan tahun didasar
lautan dan danau. Komposisi kimianya adalah silika yang tercemari oleh lempung
dan bahan organik. Kisaran luas dari refraktori isolasi dengan perpaduan luas
yang sekarang sudah tersedia. Tabel 3.6 memperlihatkan sifat fisik penting dari
beberapa refraktori isolasi.
Tabel
3.6. Sifat-sifat fisik bahan-bahan
isolasi (BEE, 2005)
No
|
Jenis
|
Konduktivitas
Panas
pada suhu 400oC
|
Suhu
aman
maksimum (oC)
|
Kekuatan
remuk
kondisi
dingin
(kg/cm2)
|
Persen
porositas
|
Bulk
density
(kg/m3)
|
1
|
Kualitas
Padatan
Diatomite
|
0,025
|
1000
|
270
|
52
|
1090
|
2
|
Kualitas
penyerapan
Diatomite
|
0,014
|
800
|
110
|
77
|
540
|
3
|
Tanah
lempung
|
0,030
|
1500
|
260
|
68
|
560
|
4
|
Alumina
Tinggi
|
0,028
|
1500-1600
|
300
|
66
|
910
|
5
|
Silika
|
0,040
|
1400
|
400
|
65
|
830
|
3.1.8.
Pelapisan emisivitas yang tinggi
Emisivitas
(yakni ukuran kemampuan bahan untuk menyerap dan meradiasikan panas) seringkali
dianggap sebagai sifat fisik yang sudah melekat yang biasanya tidak berubah
(contoh lainnya adalah masa jenis, panas jenis dan konduktivias panas). Walau
begitu, perkembangan pelapis dengan emisivitas tinggi me njadikan emisivitas
bahan meningkat. Pelapis dengan emisivitas tinggi diterapkan pada permukaan
interior furnace. Gambar 10 memperlihatkan bahwa emisivitas berbagai bahan
isolasi berkurang dengan meningkatnya suhu proses. Keuntungan pelapis dengan
emisivitas tinggi adalah bahwa emisivitas kurang lebih konstan.
Gambar 3.11. Emisivitas Bahan Refraktori pada Berbagai
Suhu (BEE, 2005)
Emisivitas furnace yang
beroperasi pada suhu tinggi adalah 0,3. Dengan menggunakan pelapis
beremisivitas tinggi nilai ini akan naik mencapai 0,8, mengakibatkan naiknya
perpindahan panas melalui radiasi. Manfaat lain dari pelapisan dengan
emisivitas tinggi dalam ruang furnace adalah pemanasan yang seragam dan
memperpanjang umur refraktori dan komponen logam seperti pipa radian dan elemen
pemanas. Untuk furnace intermittent atau dimana diperlukan pemanasan
cepat, penggunaan pelapis seperti itu akan menurunkan penggunaan bahan bakar
atau daya 25 – 45 persen.
3.1.9.
Perpindahan
Kalor
Kalor
adalah salah satu bentuk energi yang dapat berpindah dari satu benda ke benda
lainnya karena adanya perbedaan suhu. Ketika dua benda yang memiliki perbedaan
suhu bertemu maka kalor akan mengalir (berpindah) dari benda yang bersuhu
tinggi ke benda yang bersuhu rendah.
Kapasitas
kalor diartikan sebagai banyaknya kalor yang diserap oleh suatu benda bermassa
tertentu untuk menaikkan suhu sebesar 1⁰C.
Satuan kapasitas kalor dalam sistem International yaitu J/K
Untuk mengetahui banyaknya kalor yang dilepas atau diterima oleh suatu zat digunakan persamaan :
Untuk mengetahui banyaknya kalor yang dilepas atau diterima oleh suatu zat digunakan persamaan :
Q=m.c.ΔT
Dimana :
Q = banyaknya kalor yang dilepas atau diterima oleh suatu benda (Joule)
m = massa benda yang menerima atau melepas kalor (kg)
c=kalorjeniszat(J/Kg⁰C)
ΔT = perubahan suhu (⁰C)
Tabel
3.7. kalor jenis berbagai zat
3.1.10.
Perhitungan
kinerja Furnace
Efisiensi
furnace meningkat bila persentase panas yang dipindahkan ke stok atau beban
dibagian dalam furnace meningkat. Efisiensi furnace dapat dihitung dengan dua
cara, sama halnya dengan boiler: metoda langsung dan metoda tidak langsung.
Kedua metoda tersebut diterangkan dibawah ini.
a. Metode
Langsung
Efisiensi
furnace dapat ditentukan dengan
mengukur jumlah panas yang diserap oleh stok danmembaginya dengan jumlah total
bahan bakar yang dipakai.
Jumlah panas (Q) yang
akan dipindahkan ke stok dapat dihitung dengan persamaan ini:
Q
= m x Cp (t1 – t2)
Dimana,
Q = Besarnya panas stok
dalam kKal
m = Berat stok dalam kg
Cp= Panas jenis stok
rata-rata dalam kKal /kg oC
t1 = Suhu akhir stok
dalam oC
t2 = Suhu stok mula-
mula sebelum masuk furnace dalam oC
b. Metode
tidakk langsung
Efisiensi furnace dapat
juga ditentukan melalui metoda tidak langsung, mirip dengan evaluasi efisiensi boiler. Prinsipnya sederhana:
kehilangan panas dikurangkan dari panas yang dipasok ke furnace
1. Kehilangan panas dalam
gas buang
Ø Udara
berlebih (EA) = O2 persen/ (21 – O2 persen)
Ø Massa
udara yang dipasokkan = (1 + EA/100) x Udara teoritis
Ø %
Kehilangan panas dalam gas buang = m x Cp x ∆T x 100
GCV bahan bakar
Dimana,
m = berat gas buang
(udara + bahan bakar) kg/kg minyak
Cp = panas jenis
∆T = perbedaan suhu
2. Kehilangan panas dari
kadar air dalam bahan bakar
% Kehilangan panas dari
kadar air dalam bahan bakar =
M x {584 + Cp (Tf –
Tamb)} x 100
GCV bahan bakar
Dimana,
M = kg kadar air dalam
1 kg bahan bakar minyak
Tfg = Suhu gas buang,
0C
Tamb = Suhu ambien, 0C
GCV
= Nilai Kalor Kotor bahan bakar, kKal/kg
3. Kehilangan dikarenakan
hidrogen dalam bahan bakar
% Kehilangan panas
karena hidrogen dalam bahan bakar =
9 x H2 x {584 + Cp (Tf –
Tamb)} x 100
GCV bahan bakar
4. Kehilangan panas
dikarenakan bukaan pada furnace
%
Kehilangan panas dari bukaan pada furnace=
(Faktor
radiasi black body x emissivitas x area bukaan) x 100
Jumlah minyak x GCV
minyak
5. Kehilangan panas melalui
kulit furnace
i).
Kehilangan panas melalui atap/langit-langit dan dinding (=zona pemanasan dan soaking):
Kehilangan panas
melalui atap furnace =
Kehilangan panas dari atap dan dinding
Luas atap dan
dinding
ii)
Kehilangan panas dari area selain zona pemanasan dan soaking
Kehilangan
panas melalui area lainnya =
Kehilangan
panas dari atap dan area lainnya
Luas
area lainnya
% Kehilangan panas
melalui kulit =
(Kehilangan panas i +
kehilangan panas ii) x 100
GCV
minyak x Jumlah minyak per jam
Efesiensi
Furnace Dengan menjumlahkan
kehilangan-kehilangan a sampai f memberikan kehilangan total. Efisiensi furnace d ihitung melelui metoda tidak
langsung = 100 – total kehilangan panas
BAB IV
PEMBAHASAN
4.2. Macam – macam Kehilangan Panas
Dalam Furnace
Efisiensi
tungku meningkat bila persentase panas yang dipindahkan ke stok atau beban
dibagian dalam tungku meningkat. Efisiensi tungku dapat dihitung dengan dua
cara, sama halnya dengan boiler: metoda langsung dan metoda tidak langsung.
Idealnya,
seluruh panas yang dimasukkan ke tungku harus digunakan untuk memanaskan muatan
atau stok. Namun demikian dalam prakteknya banyak panas yang hilang dalam
beberapa cara sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.1.
Gambar
4.2. kehilangan panas dalam Furnace
Kehilangan
panas dalam tungku tersebut meliputi (BEE, 2005 and US DOE, 2004):
Ø
|
Ø Kehilangan
dari kadar air dalam bahan bakar: bahan bakar yang biasanya
mengandung kadar air sehingga membutuhkan panas lebih yang digunakan untuk
menguapkan kadar air dibagian dalam tungku.
Ø Kehilangan
dikarenakan hidrogen dalam bahan bakar yang
mengakibatkan terjadinya pembentukan air.
Ø Kehilangan
melalui pembukaan dalam tungku: kehilangan radiasi
terjadi bilamana terdapat bukaan dalam penutup tungku dan kehilangan tersebut
dapat menjadi cukup berarti terutama untuk tungku yang beroperasi pada suhu
diatas 540°C. Kehilangan yang kedua adalah melalui penyusupan udara sebab draft
tungku/ cerobong menyebabkan tekanan negatif dibagian dalam tungku, menarik
udara melalui kebocoran atau retakan atau ketika pintu tungku terbuka.
Ø Kehilangan
dinding tungku/permukaan, juga disebut kehilangan
dinding: sementara suhu dibagiandalam tungku cukup tinggi, panas dihantarkan
melalui atap, lantai dan dinding dan dipancarkan ke udara ambien begitu
mencapai kulit atau permukaan tungku.
Ø Kehilangan
lainnya: terdapat beberapa cara lain dimana panas
hilang dari tungku, walupun menentukan jumlah tersebut seringkali sulit.
Beberapa diantaranya adalah:
a. Kehilangan
panas tersimpan: bila tungku mulai dinyalakan maka struktur dan isolasi tungku
juga dipanaskan, dan panas ini hanya akan meninggalkan struktur lagi jika
tungku dimatikan. Oleh karena itu kehilangan panas jenis ini akan meningkat
dengan jumlah waktu tungku dihidup-matikan.
b. Kehilangan
selama penanganan bahan: peralatan yang digunakan untuk memindahkan stok
melalui tungku, seperti belt conveyor, balok berjalan, bogies,
dll. juga menyerap panas. Setiap kali peralatan meninggalkan tungku mereka akan
kehilangan panasnya, oleh karena itu kehilangan panas meningkat dengan sejumlah
peralatan dan frekuensi dimana mereka masuk dan keluar tungku
c. Kehilangan
panas media pendingin: air dan udara digunakan untuk mendinginkan peralatan, rolls,
bantalan dan rolls, dan panas hilang karena media tersebut menyerap panas.
d. Kehilangan
dari pembakaran yang tidak sempurna: panas hilang jika pembakaran berlangsung
tidak sempurna sebab bahan bakar atau partikel yang tidak terbakar menyerap
panas akan tetapi panas ini tidak disimpan untuk digunakan.
e. Kehilangan
dikarenakan terjadinya pembentukan kerak.
4.3. Spesifikasi Furnace Preheating Produksi Baja Profil
a.
Suhu operasi = 1093,02oC
b.
Suhu gas buang keluar setelah pemanas
awal = 750oC
c.
Suhu ambien = 40oC
d.
Suhu udara yang diberi pemanasan awal = 254,55oC
e.
Specific gravity bahan
gas =
0,92
f.
Pemakaian bahan bakar gas rata-rata = 953,3784 kg/jam
g.
Nilai kalor gas = 13143,654
kkal/kg
h.
Persentase O2 rata-rata dalam gas buang = 11,9 %
i.
Udara teoritis yang diperlukan untuk
membakar 1 kg gas = 12 kg
j.
Berat billet =
84604,16 kg/jam
k.
Panas jenis bilet =
0,12 kKal/kg/0C
l.
Ketebalan dinding tungku (D) = 450 mm
m.
Saluran keluar ekstraksi bilet (X) = 600 mm x 600 mm
4.4. Penghitungan
Kinerja Furnace
Efisiensi
tungku meningkat bila persentase panas yang dipindahkan ke stok atau beban
dibagian dalam tungku meningkat. Efisiensi tungku dapat dihitung dengan dua
cara, sama halnya dengan boiler: metoda langsung dan metoda tidak langsung.
4.4.1. Metode Langsung
Efisiensi
tungku dapat ditentukan dengan mengukur jumlah panas yang diserap oleh stok dan
membaginya dengan jumlah total bahan bakar yang dipakai.
Jumlah panas (Q) yang
akan dipindahkan ke billet dapat dihitung dengan persamaan ini:
Q
= m x Cp (t1 – t2)
Dimana,
Q = Besarnya panas stok
dalam kKal
m = Berat stok dalam kg
Cp= Panas jenis billet
rata-rata dalam kKal /kg oC
t1 = Suhu akhir stok
dalam oC
t2
= Suhu stok mula- mula sebelum masuk tungku dalam oC
Ø Q = 84604,16 kg/h x 0,1075 kkal/kg/kg oC
x (1093,02oC-40 oC)
= 9577161,3 kkal/h
Ø Panas
dalam bahan bakar yang dipakai untuk pemanasan billet
= kondumsi bahan bakar x GCV bahan bakar
= 953,3784 kg/h x 13143,654 kkal/kg
=12530875,9 kkal/h
Ø Efisiensi
furnace
Sehingga
perkiraan kehilangan panas 100% - 76,43% =23,57%
4.4.2. Metode Tidak Langsung
a.
Kehilangan
Panas Dalam Gas Buang
Ø Udara
berlebih (EA) = O2 persen/ (21 – O2 persen)
=
11,9 % / (21-11,9%)
=1,30769231
Ø Massa
udara yang dipasokkan = (1 + EA) x Udara teoritis
=
(1+1,30769231) x 12
=15,692
kg/kg bahan bakar gas
Ø %
Kehilangan panas dalam gas buang = m x Cp x ∆T x 100
GCV bahan bakar
Dimana,
m = berat gas buang (udara + bahan bakar)=
15,692 kg+ 1kg=16,692 kg/kg gas
Cp = panas jenis
∆T = perbedaan suhu
= 16,692 kg x 0,24
kkal/kg oC x (718,9 – 40 oC)
13143,654 kkal/kg
=
0,2069 x100%
=
20,69 %
b.
Kehilangan
Panas Dikarenakan Bukaan Pada Furnace
Kehilangan panas dikarenakan bukaan pada tungku
%
Kehilangan panas dari bukaan pada furnace
=
(Faktor radiasi x black body x emissivitas x area bukaan) x 100
Jumlah minyak x GCV
minyak
Faktor
radiasi = 0,6 (gambar 4.2)
Radiasi
black body = 20 kkal/kg/cm2/h (gambar 4.3)
Luas
area bukaan = 60cm x 60 cm = 3600 cm2
Emisivitas
= 0,72 ( gambar 4.4)
=
0.6 x 20 x 0,72
x 3600
953,3784
kg/h x13143,654 kkal/kg
=
2,4822 x 10-3 x100% = 0,24822 %
Gambar
4.3. Faktor radiasi untuk Pelepasan
panas melalui Bukaan relatifterhadap Kualitas Panas yang Dilepas dari Black
Body
Ratio
= 0,6 = 1,33
0,45
Gambar 4.4. Radiasi Black Body pada Berbagai Suhu
Gambar 4.5. Emisivias bahan refraktori
pada berbagai suhu
c. Kehilangan Yang Tidak Terhitung
Kehilangan
yang tidak terhitung tidak dapat dihitung kecuali jika kehilangan jenis lainnya
diketahui.
Total
kehilangan panas = 20,69 % + 0,24822
%
= 20,93822
%
Efisiensi
furnace dihitung melalui metode tidak langsung
=
100%- 20,93822 %
=
79,06178 %
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Dari hasil analisa perhitungan pada
furnace produksi baja profil di PT Krakatau Wajatama dapat disimpulkan bahwa
untuk efisiensi kinerja furnace dihitung dengan menggunakan 2 metode yaitu
metode langsung dan metode tidak langsung didapat bahwa:
a. Analisa
Efisiensi furnace dengan metode langsung = 76,43%
b. Analisa
efisiensi furnace dengan metode tidak langsung = 79,06178 %
4.2.
Saran
Dalam
melakukan analisa perhitungan efisiensi furnace di pt wajatama ini penulis
memberikan saran sebagai berikut:
a. Pengukuran
pada dinding kulit luar furnace sangat diperlukan guna untuk menghitung panas
yang hilang melalui dinding kulit luar
furnace sehingga bisa didapat penyebab hilangnya panas melalui dinding kulit
luar furnace.
b.
mengoperasikan
tungku pada suhu optimalnya.
Tabel 5.1 suhu
optimal beberapa furnace
referensi untuk menghitung efisiensi furnace secara langsung dan tidak langsung dari mana ya mas??
BalasHapusmas boleh minta foto stand rolling mill pada proses deformed bar? terimakasih salam solver
BalasHapus