Jumat, 20 Mei 2016

analisa efisiensi furnace



LAPORAN
KERJA PRAKTEK



“ANALISA EFFICIENCY FURNACE BAJA PROFIL”

Oleh:
NAMA       : ABDUL MALIK
NPM           : 3331120017






JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
APRIL 2016



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dari tahun ke tahun,  furnace mengalami kemajuan baik dari segi proses maupun peralatan. Bahan bakar yang digunakan pun turut berubah. Jika sebelum tahun 1800, mayoritas penggunaan bahan bakar menggunakan charcoal/arang yang berasal dari kayu, maka setelah tahun tersebut mulai ramai menggunakan kokas, gas dan listrik. Dengan perkembangan furnace, tentunya semakin meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses.
Idealnya furnace harus memanaskan bahan sebanyak mungkin sampai mencapai suhu yang seragam dengan bahan bakar sesedikit mungkin. Kunci dari operasi furnace yang efisien terletak pada pembakaran bahan bakar yang sempurna dengan udara berlebih yang minim. Furnace beroperasi dengan efisiensi yang relatif rendah (serendah 7 persen) dibandingkan dengan peralatan pembakaran lainnya seperti boiler (dengan efisiensi lebih dari 90 persen). Hal ini disebabkan oleh suhu operasi yang tinggi dalam furnace.
Karena gas buang dari bahan bakar berkontak langsung dengan bahan baku, maka jenis bahan bakar yang dipilih menjadi penting. Sebagai contoh, beberapa bahan tidak akan mentolelir sulfur dalam bahan bakar. Bahan bakar padat akan menghasilkan bahan partikulat yang akan mengganggu bahan baku yang ditempatkan didalam furnace. Untuk alasan ini Hampir seluruh furnace menggunakan bahan bakar cair, bahan bakar gas atau listrik sebagai masukan energinya.
Oleh karena itu dalam hal ini mahasiswa ingin mengangkat topik judul kerja praktek “Analisa Perhitungan Efisiensi Furnace Baja Profil” di PT. KRAKATAU WAJATAMA dimana dalam analisa energi yang dihasilkan oleh bahan bakar dijadikan pembanding energi yang di serap oleh bahan baku, sehingga bisa dijadikan referensi untuk meningkatkan kinerja furnace tersebut.

 
1.2. Tujuan
Kegiatan Kerja Praktek (KP) diharapkan dapat menjadi sarana memperluas pengetahuan dan pemahaman mengenai disiplin ilmu dan aplikasinya, serta memberikan gambaran umum mengenai kondisi yang nyata pada dunia kerja. Dalam hal ini penulis melakukan analisa perhitungan efficiency furnace pada proses preheating baja profil dengan menggunakan metode langsung, bahan baku yang digunakan adalah billet 18x18x500, 18x18x570, 18x18x435, 15x15x450.
1.3. Batasan Masalah
Ruang lingkup tinjauan kerja praktek (KP) ini secara umum meliputi seluruh produksi yang dilakukan oleh PT KRAKATAU WAJATAMA, meliputi bahan baku, proses, dan produk, Dengan konsentrasi pada divisi produksi baja profil. Dengan pokok pembahasan di fokuskan pada analisa efficiency furnace preheating produksi baja profil dangan metode langsung, dengan menggunakan bahan baku billet 18x18x500, 18x18x570, 18x18x435, 15x15x450.
                          
1.4.
Deskripsi Pemecahan Masalah



1. Studi Literatur
Studi literatur digunakan untuk mempelajari definisi, teori – teori dan metode – metode yang digunakan sebagai acuan dalam menyelesaikan permasalahan yang dibahas.
2. Observasi
Observasi merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian. Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi tentang PT. Krakatau Wajatama.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara pada pekerja dan dokumentasi.


4. Pengolahan Data
Pada tahap ini penelitia melakukan pengolahan data berdasarkan data yang telah didapat.
5. Analisa
Setelah dilakukan proses pengolahan data, maka tahap selanjutnya adalah analisis data berdasarkan metode penelitian.

BAB II
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
1.1. Sejarah Perusahaan
Sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang yang mulai dicanangkan sejak PELITA I tahun 1969, maka pembangunan industri terus dilakukan secara intensif. Hal itu mengakibatkan kebutuhan akan bahan-bahan baku, terutama bahan baku untuk industri terus meningkat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Uni Soviet mendirikan industri Baja Trikora di Cilegon dalam rangka mencukupi kebutuhan baja nasional.
PT Krakatau Steel lahir dengan ditandai oleh keluarnya peraturan pemerintah No. 34 tanggal 31 Agustus 1970 dewasa ini telah berhasil membuktikan diri sebagai aset nasional yang menjadi tulang punggung negara dalam pemenuhan kebutuhan baja nasional dan berperan sebagai salah satu unsur utama perkembangan industri pada khususnya dan ekonomi pada umumnya. Dalam perkembangan selanjutnya PT Krakatau Steel mampu membuktikan sebagai pabrik terpadu pertama di Indonesia dan menjadi industri terkemuka untuk wilayah Asia Tenggara. Pembangunan pabrik baja di Cilegon oleh Pemerintah yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 20 Mei 1962, berdasarkan ketetapan MPRS No. II tahun 1960 dengan nama proyek baja Trikora. Tindak lanjut dari ketetapan MPRS ini adalah dengan ditanda tanganinya kontrak pabrik baja Cilegon antara Republik Indonesia dengan ALL Union Impact Coorporation ( Tjazpromex Pert of Moscow ) dengan kontrak No. 080 tertanggal 7 Juni 1960. Namun pembangunan ini terhenti total pada tahun 1965 karena adanya peristiwa G 30 S/PKI menyusul memburuknya hubungan diplomasi Indonesia dan Rusia.

 
Pada tahun 1967 Pemerintah melalui Departmen Perindustrian mengundang konsultan untuk melakukan penilaian layak tidaknya Proyek Besi Baja ini untuk dilanjutkan kembali. Penelitian ini kemudian dilakukan kembali pada tahun – tahun selanjutnya dengan mengundang konsultan – konsultan asing dari beberapa negara. Mereka khusus mempelajari dan menyusun rekomendasi tentang proyek besi baja Cilegon.
Penilaian – penilaian pemerintah melalui badan-badan Internasional ternyata merupakan saat – saat penting mengawali kelahiran PT Krakatau Steel pada tahun 1970. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 proyek Besi Baja kemudian dinamakan PT Krakatau Steel.
Pembangunan Industri Baja ini dimulai dengan memanfaatkan sisa – sisa peralatan proyek baja tulangan dan baja profil eks baja Trikora. Sementara itu pembangunan pabrik terus berjalan secara bertahap mulai tahun yang disusun berdasarkan kebijakan pemerintah sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 30 tahun 1975.
Pada tanggal 27 Juli 1977 pengoperasian pabrik baja tulangan, pabrik baja profil dan pelabuhan khusus Cigading diresmikan oleh Presiden Soeharto. Peresmian pertama ini disusul dengan peresmian – peresmian pada tahun-tahun berikutnya sesuai dengan perkembangan kemajuan yang telah dicapai oleh PT Krakatau Steel.
PT Krakatau Steel berperan sebagai tulang punggung perkembangan industri pada khususnya dan perkembangan ekonomi pada umumnya di Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya keterkaitan sistem “bapak angkat” dengan beberapa industri kecil sektor logam. Hal ini merupakan kepedulian PT Krakatau Steel untuk memajukan perindustrian nasional keterkaitan ini ditekankan pada suplai bahan baku kepada sentra – sentra kecil sehingga dapat melancarkan proses produksi. Untuk pimpinan PT Krakatau Steel membentuk Team Vendor Development Program ( VDP ) yang bertugas membuat program konkrit tentang keterkaitan secara luas melalui SKP No. 37/KPTS. PD –KS/1984 tanggal 3 September 1984 yang anggotanya terdiri dari beberapa divisi seperti: Central Maintenance, Logistik, Pusat Pengadaan Besi Baja, Engineering, dan Perencanaan. Secara umum program keterkaitan ini lebih diperluas yaitu berupa suplai bahan baku, pelatihan serta bimbingan teknis.
PT Krakatau Steel mengadakan perluasan dan modernisasi fasilitas baik yang langsung maupun tak langsung berhubungan dengan proses produksi. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan usaha baik yang terjadi di dalam negeri maupun yang terjadi dipasaran Internasional serta untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam jangka panjang. Perluasan yang dimaksud tidak terbatas hanya pada penambahan bangunan, melainkan juga membentuk anak perusahaan. Pembentukan anak perusahaan dimaksudkan untuk mendukung aktifitas PT Krakatau Steel dalam mencapai persaingan pasar. Sampai saat ini anak perusahaan dari PT Krakatau Steel adalah:
1. PT KHI Pipe Industri : meproduksi pipa baja dengan kapasitas sebesar 120.000 ton / tahun yang disesuaikan dengan permintaan konsumen dan standard serta spesifikasi internasional.
2. PT Plat Timah Nusantara ( LATINUSA ) : memproduksi plat timah dengan kapasitas produksi sebesar 130.000 ton / tahun.
3. PT Krakatau Wajatama : produksi baja tulangan dan baja profil
4. PT Krakatau Engineering Corporation : mengembangkan pusat teknologi yang baik dan memberikan jasa permesinan, konstruksi bagi sektor industri, infrastruktur dan energi di Indonesia.
5. PT Krakatau Industrial Estate Cilegon : mengelola kawasan Industri seluas kurang lebih 550 hektar.
6. PT Krakatau Information Technology : memberikan pelayanan di bidang manufaktur di Indonesia secara “TOTAL SOLUSI” melalui jasa: Factory Automation, Sistem Management, IT Profesional Service, communication dan Network serta Value added Service.
7. PT Krakatau Tirta Industri : untuk penyediaan air minum untuk KS Group dan masyarakat umum.
8. PT Krakatau Daya Listrik : anak perusahaanuntuk menyediakan listrik dengan PLTU 400 MW.
9. PT Krakatau Medika : pelayanan rumah sakit.
10. PT Krakatau Bandar Samudra : mengelola pelabuhan laut khusus untuk eksport-import atau antar pulau.
PT. Krakatau Wajatama adalah salah satu anak perusahaan PT Krakatau Steel. PT Krakatau Wajatama pada awalnya membawahi tiga pabrik yaitu, Pabrik Baja Tulangan ( Bar Mill ), Pabrik Besi Profil ( Section Mill ) dan Pabrik Kawat Paku ( Cold Wire Drawing ). Namun kini PT Krakatau Wajatama hanya membawahi dua pabrik saja yaitu, Bar Mill dan Section Mill.
PT. Krakatau Wajatama adalah perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan akte notaris Ny. R. Arie Soetardjo SH di Jakarta nomor 96 tanggal 24 Juli 1992, dan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No. C2-8933.HT.01.01.TH.92 tanggal 30 Oktober 1992 dan telah diumumkan dalam Tambahan No.6501 dari Berita Negara Republik Indonesia No.100 tanggal 15 Desember 1992.
Pada saat ini PT. Krakatau Wajatama telah menjadi produsen baja terkemuka di Indonesia. Sebagai anak perusahaan PT. Krakatau Steel, perusahaan ini berkomitmen untuk selalu menghasilkan produk-produk berkualitas tinggi.
Tumbuh dan berkembangnya PT Krakatau Steel dapat dikatakan tidak lepas dari keberadaan pabrik yang saat ini terhimpun dalam PT Krakatau Wajatama, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, PT Krakatau Wajatama adalah sejarah awal PT Krakatau Steel. ( Gambar 1 )
Gambar 2.1. Krakatau Steel Group
2.2 Visi dan Misi Perusahaan
a.       Visi
·         2015    : Menjadi pemain baja batangan yang terdepan di pasar     domestik.
·          2020   : Menjadi pemain baja batangan yang diperhitungkan di pasar regional.
b.      Misi
      “Kami adalah perusahaan penyedia steel long productuntuk kebutuhan konstruksi, infrastruktur, dan industri manufaktur“.

2.3 Pabrik di PT Krakatau Wajatama
Pabrik yang dimiliki PT Krakatau Wajatama terdiri dari dua (2) pabrik, yaitu:
1.      Bar Mill (Pabrik Baja Tulangan)
Pabrik Baja Tulangan ini telah beroperasi sejak tahun 1976 yang memiliki kapasitas produksi 180.000 ton/tahun. Adapun produk yang dihasilkan, antara lain :
a.      Plain Bar (Baja Tulangan Polos)
Ukuran                          : 10, 12, 16, 19, 22, 25, 29 dan 32 mm
Grade                            : BJTP 24, BJTP 30
Standar                         :ekuivalent ASTM A 615, ekuivalent JIS G 3112, SNI 2052-07-2002
b.      Deformed Bar(Baja Tulangan Ulir)
Ukuran                          : 10, 13 16, 19, 22, 25, 29, 32 dan 36 mm
Grade                            : BJTS 40, BJTS 50
Standar                         : ekuivalent ASTM A 615, ekuivalent JIS G 3112, SNI 2052-07-2002
c.Round Bar
Ukuran                          : 26,33 dan 57 mm
Grade                            : high carbon
Standar                         : ASTM
(a)                                      (b)                            (c)
Gambar 2.2. Produk pabrik baja tulangan (a) Deformed Bar, (b) Plain Bardan (c) Round Bar

2.      Section Mill (Pabrik Baja Profil)
   Pabrik ini telah beroperasi sejak tahun 1978 yang memiliki kapasitas produksi 150.000 ton/tahun. Adapun produk yang dihasilkan, antara lain:
a.       Equal Angel (L)           : L40, L50, L60, L90, L100, L120, L150
Grade                          : BJP 41 (SS 400), BJP 55 (SS 500)
Standar                        : ekuivalent JIS G 3101, SNI 07 2054 2006
b.      H Beam (H)                : H 150, H 200, H 250
Grade                          : BJP 41 (SS 400)
Standar                        : ekuivalent JIS G 3101
c.       I Beam                         :I 100, I 150
Grade                          : BJP 41 (SS 400)
Spesifikasi                   : ekuivalent JIS G 3101, SNI 07 0329 2006
d.      Wide Flange                : WF 150, WF 200, WF 250
Grade                          : BJP 41 (SS 400)
Standar                        : ekuivalent JIS G 3101, SNI 07 7178 2006
e.       Channel (U)                : U 150, U 200, U 250
Grade                          : BJP 41 (SS 400)
Standar                        : ekuivalent JIS G 3101, SNI 07 0052 2006



(a)                       (b)                      (c)                              (d)
(e)
Gambar 2.3. Produk pabrik baja profil (a)WF Beam,(b) H Beam,(c) Equal Angle,(d) I Beam dan(e)U chanel)
Direktur Utama
 
2.4. Struktur Organisasi


 

















Gambar 2.4. Struktur Organisasi PT Krakatau Wajatama
2.5 Aktivitas Perusahaan
2.5.1 Komposisi Karyawan
Status kepegawaian di PT. Krakatau Wajatama dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Karyawan Organik
2. Karyawan Non-Organik
Sedangkan bila ditinjau dari jam kerja karyawan PT. Krakatau Wajatama dibedakan menjadi dua golongan, yaitu :
1.    Karyawan Non-Shift
Waktu kerjanya dari pukul 08.00 – 16.30 WIB. Kecuali hari jumat dari pukul 08.00 – 17.00 WIB
2.    Karyawan Shift
Waktu kerja karyawan ini dibagi menjadi tiga shift, yaitu :
Shift 1 pukul 22.00 – 06.00 WIB
Shift 2 pukul 06.00 – 14.00 WIB
Shift 3 pukul 14.00 – 22.00 WIB
2.5.2   Bidang Usaha
Sesuai dengan pasal 3 Anggran Dasar Perusahaan, Perusahaan bergerak dalam bidang produksi dan distribusi baja batangan yang terdiri atas 2 produk yaitu baja tulangan dan baja profil.
2.5.3   Pasar
Pasar produk baja tulangan antara lain pembangunan property, infrastruktur, industri, utilitas, pertambangan oil and gas, dan lain-lain. Sedangkan pasar produk baja profil antara lain transmisi listrik, tower atau menara seluler, dan lain-lain.
2.6 Proses Produksi
2.6.1 Proses Produksi Baja Tulangan ( Bar Mill )
Produk baja tulangan yang dihasilkan oleh PT Krakatau Wajatama ada dua jenis, yaitu baja tulangan polos (Plain Bar) dan baja tulangan sirip (Deformed Bar). Baja tulangan yang diproduksi terdapat dalam beberapa ukuran, untuk baja tulangan polos memiliki diameter 8,10, 12, 16, 19, 22, 25, 32 dan 36 mm, untuk baja tulangan sirip memiliki diameter10, 13 16, 19, 22, 25, 29 dan 32 mm, round bar memiliki produk dengan diameter 26,33 dan 50 mm.
Baja tulangan yang diproduksi haruslah memenuhi standar-standar yang telah ditentukan. Baja produksi PT Krakatau Wajatama sendiri telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) ataupun ekuivalent dengan standar luar negeri, seperti:
1.    JIS (Jepang)
2.    ASTM (Amerika)
3.    BS (Inggris)
SNI yang digunakan untuk baja tulangan beton adalah SNI 07-2052-2002 yang mencakup mengenai dimensi, komposisi kimia, sifat mekanis, grade dari baja tulangan dll.
Pada sistem Bar Mill terdiri dari tiga (3) bagian utama, yaitu:
1.    Furnace         : Berfungsi untuk proses pemanasan billet (heating process)
2.    Stand             : Berfungsi untuk proses pengerolan (rolling process) yang  terdiri dari roughing stand, intermediate stand, dan finishing stand.
3.    Colling          :Berfungsi sebagai proses akhir (finishing process) dan juga area packing.
Adapun proses produksi Baja Tulangan dapat dilihat melalui flow chart berikut:
Untitled2.png
Gambar 2.5. Proses Produksi Baja Tulangan
2.6.2. Bahan Baku
Billet adalah bahan baku yang digunakan untuk produksi baja tulangan. Billet yang digunakan dalam proses produksi di PT Krakatau Wajatama awalnya mayoritas diperoleh dari PT. Krakatau Steel, selain itu billet juga diimpor dari negara-negara lain seperti Malaysia, Rusia, Brazil, Australia, Jepang, Taiwan dan India. Adapun grade billet yang digunakan dalam produksi PT Krakatau Wajatama adalah sebagai berikut:
1.    Billet yang berasal dari PT Krakatau Steel memiliki grade antara lain,    KS 1015, KS 1020, KS 1325 V2, KS 1325 V3, KS 1325 V4, KS 1035 SP, KS 1082 B dan KS 1095GB.
2.    Billet yang diimpor memiliki standar tersendiri, salah satunya Rusia dengan grade antara lain 3 SP, 3 PS, 5 SP dan 5 PS.
Sebelum di proses menjadi baja tulangan ataupun baja profil billet diletakkan di gudang (yard) dengan kapasitas sekitar 60.000 ton. Billet sebagai bahan baku yang hendak diproses harus melalui tahap persiapan awal agar tercapai hasil akhir yang sesuai dengan standar produksi. Proses persiapan itu sendiri meliputi:
1.    Seleksi grade dan spesifikasi billet
Seleksi ini dilakukan ketika billet tiba di gudang (yard), billet diatur dan disusun sesuai ukuran, kelompok, grade dan lain-lain untuk memudahkan proses yang selanjutnya.
2.    Incoming inspection
Pada proses ini dilakukan inspeksi terhadap bahan baku yang diterima, apakah mengandung cacat atau tidak. Jika diketahui memiliki cacat maka bahan baku tersebut akan di rejectdan tidak akan dilakukan proses yang selanjutnya. Tetapi jika bahan baku tidak memiliki cacat, maka bahan baku akan diproses menjadi produk baja tulangan. Adapun jenis inspeksi yang dilakukan adalah inspeksi bentuk dan inspeksi permukaan billet (gambar inspeksi visual dapat dilihat pada lampiran). Dan metode yang digunakan dengan cara visual dan shulpur print test.
3.    Pemotongan panjang efektif
Proses ini dilakukan agar billet memiliki ukuran yang sesuai saat dimasukan ke dalam furnace. Bahan baku (billet) adalah komponen dengan biaya yang paling tinggi dibandingkan biaya-biaya lain, sehingga pemakaian billet yang efisien sangat berpengaruh pada biaya rolling(Rolling Cost). Untuk proses rolling di PT Krakatau Wajatama, billet biasa dipotong dengan ukuran 6 m.

2.6.3. Proses Pemanasan Billet
Proses pemanasan billet dilakukan dalam dapur (furnace) yang disebut reheating furnace. Dimana jenis reheating furnace yang digunakan Pusher Type Furnace, yaitu billet dimasukan ke dalam dapur dengan cara mendorongnya dengan menggunakan alat pendorong (pusher) kemudian billet dikeluarkan dari dapur dengan cara mendorong billet dengan ejector. Proses pemanasan billet di dalam furnace ini berlangsung selama 1,5 - 2 jam. Suhu furnace yang digunakan saat pemanasan billet sekitar 12000 – 12500 C dengan kapasitas maksimum 120 batang yang menggunakan bahan bakar gas.
Furnace tersebut terdiri dari tiga bagian yang merupakan tahap-tahap pemanasan yang dilakukan pada billet, yaitu:
1.    Preheating Zone, tahap pemanasan awal billet dengan temperatur 3000 – 5000 C.
2.    Heating Zone, tahapan lanjut dari preheatingdengan temperatur 5000 – 9000 C.
3.    Soaking Zone, pemanasan pada temperatur dimana billet siap untuk diroling dengan temperatur 9000 – 13000 C.
Furnace yang digunakan oleh PT Krakatau Wajatama dibuat oleh “Priest Furnace Ltd” yang telah mengalami banyak modifikasi. bahan bakar yang digunakan dalam reheating furnace ini berupa gas. Sedangkan ukuran billet yang dapat masuk ke dalam furnace adalah 120 x 120 x 6000 mm dengan kapasitas maksimum dapur sebanyak 120 batang dengan kapasitas furnace 600 – 650 batang sehari yang dibagi menjadi tiga shift dimana tiap shiftnya sekitar 200-220 batang billet yang dipanaskan dengan berat total sekitar 300 ton perhari (dalam kondisi normal).
Pada reheating furnace ini billet dipanaskan sampai mencapai temperatur 12000-12500 C dan ketika pemanasan tersebut diusahakan pemanasan tersebut temperaturnya homogen pada seluruh batang billet. Prosesreheating ini dilakukan untuk memperoleh kondisi lunak pada batang billet, sehingga dapat mudah untuk dideformasi menjadi bentuk batang yang diinginkan.
a.    Proses Rolling
Proses rolling merupakan proses indirect compression. Dimana gaya atau beban yang diberikan berasal dari tekanan roll yang kemudian mendeformasi logam.
Rolling mill yang digunakan di PT Krakatau Wajatam merupakan jenis continous rolling mill dimana terdiri dari beberapa stand yang disusun secara berurutan (Gambar 6).
Gambar 2.6. Susunan Stand Bar Mill

Berdasarkan pengaturan standnya, rolling mill yang digunakan PT Krakatau Wajatama merupakan jenis cross country mill. Tipe pengaturan ini dipilih antara lain berdasarkan pertimbangan efisiensi tempat yang terbatas. Dimana dengan penerapan cross country mill, tempat yang tersedia dapat dioptimalkan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sistem rolling line terdiri dari roughing stand, intermediate stand dan finishing stand.

1.    Roughing Stand
Merupakan deretan dari beberapa rolling stand yang berfungsi untuk mereduksi billet tahap yang pertama, sehingga didapatkan hasil ukuran dan bentuk kasar dari produk yang akan diproses berikutnya.Stand ini terdiri dari tujuh buah stand yaitu stand 1-7 yang disusun 3-2-2 secara seri.Pada bagian akhir roughing stand biasanya terdapat mesin pemotong yang disebut flying shear yang berfungsi untuk memotong bagian kepala hasil tahap awal sekitar 20 cm, dengan tujuan untuk menghilangkan ujung baja tulangan yang cacat dan juga memudahkan baja tulangan untuk masuk ke proses yang selanjutnya. Pada roughing standdilakukan proses pengecilan ukuran penampang billet dengan output tiap stand dapat  dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 2.1. Caliber Pass pada Roughing Stand(baja tulangan D 16)
Stand No.
Pass
Bahan Baku
Stand 1
Stand 2
Stand 3
Stand 4
Stand 5
Stand 6
Stand 7

2.    Intermediate Stand
Deretan stand yang berfungsi sebagai pereduksi tahap kedua sehingga didapat hasil ukuran dan bentuk yang mendekati ukuran dan bentuk produk jadi.Stand ini terdiri dari lima buah stand yaitu stand 8-12.Pada intermediate standdilakukan proses pembentukan baja tulangan dengan output tiap stand dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2.2.Caliber Pass pada Intermediate Stand(baja tulanganD 16)
Stand No.
Pass
Stand 7
Stand 8
Stand 9
Stand 10
Stand 11
Stand 12

3.    Finishing Stand
Deretan stand yang berfungsi untuk pereduksi tahap akhir sehingga diperoleh ukuran dan bentuk produk jadi.Stand ini terdiri dari tiga buah stand yaitu stand 13-15. Pada finishing standini akandilakukan proses penyempurnaan bentuk baja tulangan dengan output tiap stand dapat dilihat pada tabel 3 berikut.


Tabel 2.3. Caliber Pass pada Finishing Stand (baja tulangan D 16)
Stand No.
Pass
Stand 12
Stand 13
Stand 14
Stand 15

Pada akhir mill terdapat mesin pemotong yaitu flying shear II yang berfungsi untuk memotong batang yang telah selesai dirolling sesuai dengan panjang yang diinginkan. Setelah proses pengerolan selesai dan diperoleh produk akhir, maka akan dilakukan proses pengendalian mutu yaitu dengan melakukan inspeksi terhadap produk akhir di coolling bed dengan pengambilan sampel kemudian dilakukan pemeriksaan yang meliputi visual, toleransi berat, dimensi produk dan sifat mekanik produk.
b.   Proses Akhir
Setelah diperoleh produk akhir maka tahapan proses selanjutnya adalah proses akhir yang meliputi:
1.    Pendinginan:
Produk akhir didinginkan di coolling bed dari suhu awal 8000-9000 C menjadi suhu kamar, kemudian dilakukan pemotongan produk akhir dengan panjang 12 m ataupun sesuai permintaan.
2.    Pengikatan dan Pelabelan:
Produk akhir diikat dengan jumlah yang diinginkan ataupun sesuai pesanan, kemudian bundledari produk baja tulangan akan diberi label dan dilakukan penyortiran untuk memisahkan produk yang reject.
3.    Penandaan grade produk:
Produk selanjutnya akan diberikan penandaan berupa warna berdasarkan kelasnya masing-masing. Berikut adalah klasifikasi dari baja tulangan:
Tabel 2.4. Klasifikasi Baja Tulangan
Kelas baja
Warna
BjTP24

Hitam
BjTP 30
BjTS 30
Biru

BjTS 35
Merah

BjTS 40
Kuning

BjTS 50
Hijau

4.    Transfer ke Gudang:
Produk yang telah melalui proses bundling, kemudian akan dikirim ke Gudang untuk selanjutnya di taruh berdasarkan gradenya.
5.    Shipment:
Produk yang telah jadi akan dikirimkan ke konsumen.
2.6.2 Proses Produksi Baja Profil ( Section Mill )
Pada proses produksi baja profil semua proses dilakukan oleh mesin dan dijalankan oleh operator. Tahapan proses produksi ( Gambar 2.6.2.1 ) diantaranya adalah sebagai berikut.
1.      Reheating Furnace
Pada tahap ini billet dipanaskan sampai temperatur 1200oC agar billet menjadi lebih lunak sehingga mudah untuk pembentukan.
2.      Rolling
Pada tahap ini terdapat 5 stand rolling, disinilah tahap pembentukan baja dilakukan.


3.      Transfer Bank
Pada tahap ini baja yang selesai dibentuk, produk ditransfer dengan menuju cooling bed.
4.       Cooling Bed
Pada tahap ini baja didinginkan hingga suhu kurang lebih 600oC – 800oC.
5.      Straightening Machine
Baja tahap ini baja dari cooling bed diluruskan dengan mesin pelurus dan baja dipotong dengan mesin cold saw. Setelah itu produk di packing.
Gambar 2.6.  Proses Produksi Baja Profil ( Section Mill ) PT. Krakatau Wajatama


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.Landasan Teori Furnance
3.1.1.      Pengertian Furnance
Furnace adalah sebuah peralatan yang digunakan untuk melelehkan logam, untuk pembuatan bagian mesin (casting) atau untuk memanaskan bahan serta mengubah bentuknya (misalnya rolling/penggulungan, penempaan) atau merubah sifat-sifatnya (perlakuan panas).
Karena gas buang dari bahan bakar berkontak langsung dengan bahan baku, maka jenis bahan bakar yang dipilih menjadi penting. Sebagai contoh, beberapa bahan tidak akan mentolelir sulfur dalam bahan bakar. Bahan bakar padat akan menghasilkan bahan partikulat yang akan mengganggu bahan baku yang ditempatkan didalam furnace. Untuk alasan ini:
Ø  Hampir seluruh furnace menggunakan bahan bakar cair, bahan bakar gas atau listrik sebagai masukan energinya.
Ø  Furnace induksi dan busur/arc menggunakan listrik untuk melelehkan baja dan besi tuang.
Ø  Furnace pelelehan untuk bahan baku bukan besi menggunakan bahan bakar minyak.
Ø  Furnace yang dibakar dengan minyak bakar hampir seluruhnya menggunakan minyak furnace, terutama untuk pemanasan kembali dan perlakuan panas bahan.
Ø  Minyak diesel ringan (LDO) digunakan dalam furnace bila tidak dikehendaki adanya sulfur.
Ø 

 
Idealnya furnace harus memanaskan bahan sebanyak mungkin sampai mencapai suhu yang
Ø  seragam dengan bahan bakar dan buruh sesedikit mungkin. Kunci dari operasi furnace yang
Ø  efisien terletak pada pembakaran bahan bakar yang sempurna dengan udara berlebih yang
Ø  minim. Furnace beroperasi dengan efisiensi yang relatif rendah (serendah 7 persen) dibandingkan
Ø  dengan peralatan pembakaran lainnya seperti boiler (dengan efisiensi lebih dari 90 persen). Hal
Ø  ini disebabkan oleh suhu operasi yang tinggi dalam furnace. Sebagai contoh, sebuah furnace yang
Idealnya furnace harus memanaskan bahan sebanyak mungkin sampai mencapai suhu yang seragam dengan bahan bakar sesedikit mungkin. Kunci dari operasi furnace yang efisien terletak pada pembakaran bahan bakar yang sempurna dengan udara berlebih yang minim. Furnace beroperasi dengan efisiensi yang relatif rendah (serendah 7 persen) dibandingkan dengan peralatan pembakaran lainnya seperti boiler (dengan efisiensi lebih dari 90 persen). Hal ini disebabkan oleh suhu operasi yang tinggi dalam furnace. Sebagai contoh, sebuah furnace yang memanaskan bahan sampai suhu 1200 oC akan mengemisikan gas buang pada suhu 1200 oC atau lebih yang mengakibatkan kehilangan panas yang cukup signifikan melalui cerobong.
Seluruh furnance memiliki komponen-komponen seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.1.

Gambar 3.1. komponen-komponen Furnance
Ø Ruang refraktori dibangun dari bahan isolasi untuk menahan panas pada suhu operasi yang tinggi.
Ø Perapian untuk menyangga atau membawa baja, yang terdiri dari bahan refraktori yang didukung oleh sebuah bangunan baja, sebagian darinya didinginkan oleh air.
Ø Burners yang menggunakan bahan bakar cair atau gas digunakan untuk menaikan dan menjaga suhu dalam ruangan. Batubara atau listrik dapat digunakan dalam pemanasan ulang / reheating furnace.
Ø Cerobong digunakan untuk membuang gas buang pembakaran dari ruangan
Ø Pintu pengisian dan pengeluaran digunakan untuk pemuatan dan pengeluaran muatan. Peralatan bongkar muat termasuk roller tables, conveyor, mesin pemuat dan pendorong furnace.
3.1.2.      Jenis-jenis Furnance
Furnace secara luas dibagi menjadi dua jenis berdasarkan metoda pembangkitan panasnya: furnance pembakaran yang menggunakan bahan bakar, dan furnace listrik yang menggunakan listrik. Furnace pembakaran dapat digolongkan menjadi beberapa bagian seperti ditunjukkan dalam Tabel 3.1. jenis bahan bakar yang digunakan, cara pemuatan bahan baku, cara perpindahan panasnya dan cara pemanfaatan kembali limbah panasnya. Tetapi, dalam prakteknya tidak mungkin menggunakan penggolongan ini sebab furnance dapat menggunakan berbagai jenis bahan bakar, cara pemuatan bahan ke furnance yang berbeda, dll.
Tabel 3.1. Klasifikasi Furnance
No
Metode klasifikasi
Jenis dan Contoh
1
Jenis bahan bakar yang digunakan
Dibakar dengan minyak
Dibakar dengan gas
Dibakar dengan batubara
Dibakar dengan electric
2
Cara pengisian bahan
Berselang (intermittent)/ Batch
Berkala
Ø Penempaan
Ø Penggulungan ulang/ re-rolling (batch/pusher)
Ø Pot
Kontinyu
Ø Pusher
Ø Balok berjalan
Ø Perapian berjalan
Ø Furnace bogie dengan sirkulasi ulang kontinyu
Ø Furnace perapian berputar/ rotary hearth furnace
3
Cara perpindahan panas
Radiasi (tempat perapian terbuka)
Konveksi (pemanasan melalui media)
4
Cara pemanfaatan kembali limbah panas
Rekuperatif
Regeneratif

Gambar 3.2. Furnace jenis Pusher (pendorong)(The Carbon Trust, 1993)

a.      Furnace Penempaan
Furnace penempaan digunakan untuk pemanasan awal bilet dan ingot untuk mencapai suhu ‘tempa’. Suhu furnace dicapai pada sekitar 1200 sampai 1250 oC. Furnace penempaan menggunakan sistim perapian terbuka dan hampir seluruh panasnya ditransmisikan oleh radiasi. Bebannya biasanya adalah 5 sampai 6 ton dengan operasi furnace 16 sampai 18 jam setiap harinya. Siklus operasi totalnya dapat dibagi menjadi (i) waktu pemanasan (ii) waktu perendaman dan (iii) waktu penempaan. Pemakaian bahan bakar yang spesifik tergantung pada jenis bahan dan jumlah ‘pemanasan ulang/ reheat’ yang diperlukan.
b.      Furnace re-rolling mill
1.  Jenis batch
Furnace jenis kotak digunakan sebagai re-rolling mill jenis batch. Furnace ini terutama digunakan untuk pemanasan skrap, ingot dan bilet kecil yang beratnya 2 sampai 20 kg untuk rerolling. Bahan dimasukkan dan dikeluarkan secara manual dan hasil akhirnya berupa batang/ rod, strips, dll. Suhu operasinya sekitar 1200 oC. Siklus waktunya dapat dikategorikan lebih lanjut menjadi waktu pemanasan dan waktu re-rolling. Keluaran rata-rata dari furnace-furnace ini bervariasi dari 180 sampai 280 kg batubara/ton bahan yang dipanaskan.
2. Jenis pusher kontinyu
Aliran proses dan siklus operasi jenis pusher kontinyu sama dengan furnace jenis batch. Suhu operasinya sekitar 1250 o C. Umumnya, furnace ini beropeasi selama 8 sampai 10 jam dengan keluaran hasil 20 sampai 25 ton per hari. Bahan atau stok memanfaatkan kembali sebagian panasnya dalam gas buang ketika gas buang bergerak turun sepanjang furnace. Penyerapan panas oleh bahan dalam furnace tergolong lambat, tetap dan seragam diseluruh penampang dibanding dengan jenis batch.
c.       Furnance pemanasan ulang yang kontinyu
Dalam pemanasan ulang/ reheating yang kontinyu, stok baja membentuk aliran bahan yang kontinyu dan dipanaskan sampai mencapai suhu yang dikehendaki ketika bahan ini berjalan melalui furnace. Suhu sebatang baja naik antara 900°C dan 1250oC, sampai bahan ini cukup lunak untuk dikempa atau digulung menjadi bentuk dan ukuran yang dikehendaki. Furnace juga harus memenuhi laju pemanasan stok yang spesifik untuk alasan metalurgi dan produktivitas. Untuk menjaga kehilangan energi pada nilai minimum, pintu masukan dan keluaran harus berukuran minimal dan dirancang untuk menghindari penyusupan udara. Furnace pemanasan ulang/ reheating kontinyu dapat dikategorikan dengan dua metoda pengangkutan bahan yang melalui furnace:
Ø  Stok dijaga bersama membentuk aliran bahan yang didorong menuju furnace. Furnace semacam ini disebut furnace jenis pusher (pendorong).
Ø  Stok ditempatkan pada perap ian yang bergerak/ moving hearth atau struktur penopang yang mengangkut baja menuju furnace. Furnacenya terdiri dari balok berjalan, perapian berjalan, furnace bogie dengan sirkulasi ulang yang kontinyu, dan furnace dengan perapian berputar (rotary hearth furnace).
Gambar 3.3. Furnace dengan Balok Berjalan (The Carbon Trust 1993)
Gambar 3.4. Furnace dengan Perapian Berjalan (The Carbon Trust 1993)
Gambar 3.5. Furnace Bogie dengan Sirkulasi ulang yang Kontinyu (The Carbon Trust, 1993)
Gambar 3.6. Furnace dengan Perapian Berputar (The Carbon Trust, 1993)

3.1.3.      Kehilangan Panas yang Mempengaruhi Kinerja Furnace
Idealnya, seluruh panas yang dimasukkan ke furnace harus digunakan untuk memanaskan muatan atau stok. Namun demikian dalam prakteknya banyak panas yang hilang dalam beberapa cara sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 3.7.
Gambar 3.7. Kehilangan panas dalam furnace
3.1.4.      Instrumen untuk mengkaji kinerja furnance
Efisiensi furnace dihitung setelah pengurangan berbagai kehilangan panas. Dalam rangka untuk mencari efisiensi dengan menggunakan metoda tidak langsung, berbagai parameter harus diukur seperti pemakaian minyak furnace setiap jam, keluaran bahan, jumlah udara berlebih, suhu gas buang, suhu furnace pada berbagai zona, dan yang lain-lainnya. Tangga l untuk beberapa parameter dapat diperoleh dari catatan produksinya sementara yang lainnya harus diukur dengan instrumen pemantau khusus. Tabel 3.2 memberi daftar instrumen yang diperlukan untuk mengukur parameter-parameter tersebut.
Tabel 3.2. Instrumen untuk Pengukuran Kinerja Furnace
No
Parameter yang diukur
Lokasi pengukuran
Intrumen yang
Diperlukan
Nilai yang
diperlukan
1
Suhu zona soaking
furnace (pemanasan ulang
furnace)
Zona soaking dan dinding tepi
Termokopel Pt/Pt-Rh dengan indikator dan
Perekam
1200-1300oC
2
Suhu gas buang
Dalam saluran dekat ujung pembuangan, dan jalan masuk ke rekuperator
Termokopel Chromel Alummel dengan indikator
700oC maks.
3
Suhu gas buang
Setelah rekuperator

Hg dalam termomete r baja
300oC (maks)
4
Tekanan perapian furnace
dalam zona pemanasan
Dekat ujung pengisian dan
sisi dinding diatas
perapian

Pengukur tekanan rendah bentuk cincin
+0,1 mm of` Wc
5
Oksigen dalam gas buang
Dalam saluran dekat ujung
Pembuangan
Pemantau efisiensi bahan bakar untuk oksigen dan suhu
5% O2
6
Suhu billet
Portable
Pyrometer infra merah atau pyrometer optik
-

3.1.5.      Refraktori
Bahan apapun dapat digambarkan sebagai ‘refraktori’ jika bahan ini dapat bertahan terhadap abrasi atau korosi bahan padat, cair, atau gas pada suhu tinggi. Karena penggunaannya yang bervariasi dalam berbagai kondisi operasi, maka pihak manufaktur memproduksi berbagai jenis refraktori dengan berbagai sifat. Bahan-bahan refraktori dibuat dengan kombinasi dan bentuk yang bervariasi tergantung pada penggunaannya. Persyaratan-persyaratan umum bahan refraktori adalah:
Ø  Tahan terhadap suhu tinggi
Ø  Tahan terhadap Perubahan suhu yang mendadak
Ø  Tahan terhadap lelehan terak logam, kaca, gas panas, dll.
Ø  Tahan terhadap beban pada kondisi perbaikan
Ø  Tahan terhadap beban dan gaya abrasi
Ø  Menghemat panas
Ø  Memiliki koefisien ekspansi panas yang rendah
Ø  Tidak boleh mencemari bahan yang bersinggungan
Tabel 3.3. membandingkan sifat-sifat panas bahan refraktori dengan densitas tinggi dan rendah.

No

Sifat
Massa Panas Tinggi
(Refraktori dengan densitas tinggi)
Massa Panas Rendah
(Serat Keramik)
1
Konduktivitas panas (W/m K)
1.2
0.3
2
Panas jenis (J/kg K)
1000
100
3
Densitas (kg/m3)
2300
130

Jenis refraktori yang digunakan tergantung pada area penggunaannya seperti boiler, furnace, kiln, oven dll., suhu dan tekanan yang dibutuhkan. Pemasangan refraktori ditunjukkan dalam Gambar 3.8.

 
 



Beberapa sifat-sifat penting refraktori adalah:
a.      Titik leleh: Bahan-bahan murni meleleh dengan seketika pada suhu tertentu. Hampir kebanyakan bahan refraktori terdiri dari partikel yang terikat bersama dan memiliki suhu leleh tinggi. Pada suhu tinggi, partikel tersebut meleleh dan membentuk terak. Titik leleh refraktori adalah suhu dimana piramida uji (kerucut) gagal mendukung beratnya sendiri.
b.      Ukuran: Bentuk dan ukuran refraktori merupakan bagian dari rancangan furnace, karena hal ini mempengaruhi stabilitas struktur furnace. Ukuran yang tepat sangat penting untuk memasang bentuk refraktori dibagian dalam furnace dan untuk meminimalkan ruang antara sambungan konstruksinya.
c.       Bulk density: Bulk density merupakan sifat refraktori yang penting, yakni jumlah bahan refraktori dalam suatu vo lum (kg/m3). Kenaikan dalam bulk density refraktori akan menaikan stabilitas volum, kapasitas panas dan tahanannya terhadap penetrasi terak.
d.      Porositas: Porositas merupakan volume pori-pori yang terbuka, dimana cairan dapat menembus, sebagai persentase volum total refraktori. Sifat ini penting ketika refraktori melakukan kontak dengan terak dan isian yang leleh. Porositas yang nampak rendah mencegah bahan leleh menembus refraktori. Sejumlah besar pori-pori kecil biasanya lebih disukai daripada sejumlah kecil pori-pori yang besar.
e.       Cold crushing strength: Cold crushing strength merupakan resistansi refraktori terhadap kehancuran yang sering terjadi selama pengiriman. Hal ini hanya keterkaitan tidak langsung terhadap kinerja refraktori, dan digunakan sebagai salah satu indikator resistansi terhadap abrasi. Indikator lainnya adalah bulk density dan porositas.
f.        Kerucut pyrometric dan kerucut pyrometric eqivalen/ Pyrometric Cones Equivalent (PCE): Kerefraktorian’ batu bata (refraktori) adalah suhu dimana refraktori melengkung yang disebabkan tidak dapat menahan beratnya lagi, Kerucut pyrometric digunakan di industri keramik untuk menguji kerefraktorian batu bata (refraktori). Kerucut ini terdiri dari campuran oksida yang dikenal meleleh pada kisaran suhu yang sempit. Kerucut dengan komposisi berbagai oksida diletakkan berurutan sesuai dengan suhu lelehnya sepanjang bata refraktori dalam furnace. Furnace dibakar dan suhunya akan naik. Satu kerucut akan melengkung bersama bata refraktori. Nilai ini merupakan kisaran suhu dalam oC, dimana diatas suhu tersebut refraktori tidak dapat digunakan. Hal ini disebut suhu Kerucut Pyrometric Ekivalen (Gambar 3.9).
Gambar 3.9: Kerucut Pyrometric (Biro Efisiensi Energi, 2004)
g.      Creep pada suhu tinggi: Creep merupakan sifat yang tergantung pada waktu, yang menentukan rusaknya bentuk pada waktu dan suhu yang diberikan pada bahan refraktori dengan penekanan.
h.      Stabilitas volum, pengembangan, dan penyusutan pada suhu tinggi: kontraksi atau ekspansi refraktori dapat berlangsung selama umur pakai. Perubahan yang permanen dalam ukurannya dapat disebabkan oleh:
Ø  Perubahan dalam bentuk allotropic, yang dapat menyebabkan perubahan dalam specific gravity
Ø  Reaksi kimia, yang menghasilkan bahan baru dari specific gravity yang berubah
Ø  Pembentukan fase cair
Ø  Reaksi sintering
Ø  Penggabungan debu dan terak atau karena adanya alkali pada refraktori semen tahan api, membentuk basa alumina silikat. Hal ini biasanya teramati pada blast furnace.
i.        Ekspansi panas dapat balik: Bahan apapun akan mengembang jika dipanaskan, akan menyusut jika didinginkan. Pengembangan/ekspansi panas yang dapat balik merupakan cerminan perubahan fase yang terjadi selama pemanasan dan pendinginan.
j.        Konduktivitas panas: Konduktivitas panas tergantung pada komposisi kimia dan mineral dan kandungan silika pada refraktori dan pada suhu penggunaan. Konduktivitas biasanya berubah dengan naiknya suhu. Konduktivitas panas refraktori yang tinggi dikehendaki bila diperlukan perpindahan panas yang melalui bata, sebagai contoh dalam recuperators, regenerators, muffles, dll. Konduktivitas panas yang rendah dikehendaki untuk penghematan panas seperti refraktori yang digunakan sebagai isolator. Isolasi tambahan dapat menghemat panas namun pada saat yang sama akan meningkatkan suhu panas permukaan, sesampai diperlukan refraktori yang berkualitas lebih baik. Oleh sebab itu, atap bagian luar dari furnace dengan perapian terbuka/ furnace open hearth biasanya tidak diisolasi, karena akan menyebabkan runtuhnya atap.Refraktori yang ringan dengan konduktivitas panas yang rendah digunakan secara luas pada furnace perlakuan panas suhu rendah, sebagai contoh dalam furnace jenis batch dimana kapasitas panas struktur refraktori yang re ndah meminimalkan panas tersimpan selama siklus pemanasan dan pendinginan. Refraktori untuk isolasi memiliki konduktivitas panas yang sangat rendah. Hal ini biasanya dicapai dengan penjebakan sebagian besar udara kedalam struktur. Beberapa contohnya adalah:
Ø  Bahan yang terjadi secara alami seperti asbes merupakan isolator yang baik namun bukan merupakan satu-satunya refraktori yang baik.
Ø  Wool mineral yang tersedia yang memadukan sifat isolasi dengan resistansi yang baik terhadap panas namun bahan ini tidak kaku
Ø  Batu bata berpori yang kaku pada suhu tinggi dan memiliki konduktivitas panas rendah.
3.1.6.      Jenis – jenis Refraktori
Refraktori dapat digolongkan berdasarkan komposisi kimianya, pengguna akhir dan metoda pembuatannya sebagaimana diperlihatkan dibawah ini.
Tabel 3.4. Klasifikasi Refraktori berdasarkan komposisi kimianya (Diambil dari Gilchrist)
No
Metode klasifikasi
Contoh

Komposisi kimia
1
ASAM, yang siap bergabung dengan basa
Silika, Semisilika, Aluminosilikat
2
BASA, terutama yang
mengandung oksida logam yang tahan terhadap basa
Magnesit, Khrom- magnesit, Magnesit-chromit, Dolomit
3
NETRAL, yang tidak
bergabung dengan asam ataupun basa
Batu bata tahan api, Khrom, Alumina Murni
4
Khusus
Karbon, Silikon Karbid, Zirkon
5
Pengguna Akhir
Blast furnace casting pit
6
Metoda pembuatan
Proses kempa kering, fused cast, cetakan tangan, pembentukan
normal, ikatan dengan pembakaran atau secara kimiawi, tidak
dibentuk (monolitik, plastik, ramming mass, gunning castable,
penyemprotan)

a.    Refraktori sementahan api
Batubata tahan api merupakan bentuk yang umum dari bahan refraktori. Bahan ini digunakan secara luas dalam industri besi dan baja, metalurgi non besi, industri kaca, kiln barang tembikar, industri semen, dan masih banyak yang lainnya.
Refraktori semen tahan api, seperti batu bata tahan api, semen tahan api silika dan refraktori tanah liat alumunium dengan kandungan silika (SiO2) yang bervariasi sampai mencapai 78 persen dan kandungan Al2O3 sampai mencapai 44 persen. Tabel 5 memperlihatkan bahwa titik leleh (PCE) batu bata tahan api berkurang dengan meningkatnya bahan pencemar dan menurunkan Al2O3. Bahan ini seringkali digunakan dalam furnace, kiln dan kompor sebab bahan tersebut tersedia banyak dan relatif tidak mahal.



Tabel 3.5. Sifat-sifat batu bata tahan api (BEE, 2005)
No
Jenis batu bata
Persentase
SiO2
Persentase
Al2O3
Persentase
kandungan
lainnya
PCE oC
1
Super Duty
49-53 
40-44
5-7
1745-1760
2
High Duty
50-80
35-40
5-9
1690-1745
3
Menengah
60-70
26-36
5-9
1640-1680
4
High Duty (Silika)
65-80 
18-30
3-8
1620-1680
5
Low Duty
60-70
23-33
6-10
1520-1595
b.   Refraktori alumina tinggi
Refraktori silikat alumina yang mengandung lebih dari 45 persen alumina biasanya dikatakan sebagai bahan-bahan alumina tinggi. Konsentrasi alumina berkisar dari 45 sampai 100 persen. Penerapan refraktori alumina tinggi meliputi perapian dan batang as furnace hembus, kiln keramik, kiln semen, tangki kaca dan wadah tempat melebur berbagai jenis logam.
c.    Batu bata silika
Batu bata silika (atau Dinas) merupakan suatu refraktori yang mengandung paling sedikit 93 persen SiO2. Bahan bakunya merupakan batu yang berkualitas. Batu bata silika berbagai kelas memiliki penggunaan yang luas dalam furnace pelelehan besi dan baja dan industri kaca. Sebagai tambahan terhadap refraktori jenis multi dengan titik fusi yang tinggi, sifat penting lainnya adalah ketahanannya yang tinggi terhadap kejutan panas (spalling) dan kerefraktoriannya. Sifat batu bata silika yang terkemuka adalah bahwa bahan ini tidak melunak pada beban tinggi sampai titik fusi terdekati. Sifat ini sangat berlawanan dengan beberapa refraktori lainnya, contohnya bahan silikat alumina, yang mulai berfusi dan retak pada suhu jauh lebih rendah dari suhu fusinya. Keuntungan lainnya adalah tahanan flux dan stag, stabilitas volum dan tahanan spalling tinggi.
d.   Magnesit
Refraktori magnesit merupakan bahan baku kimia, yang mengandung paling sedikit 85 persen magnesium oksida. Tersusun dari magnesit alami (MgCO3). Sifat-sifat refraktori magnesit tergantung pada konsentrasi ikatan silikat pada suhu operasi. Magnesit kualitas bagus biasanya dihasilkan dari perbandingan CaO-SiO2 yang kurang dari dua dengan konsentrasi ferrit yang minimum, terutama jika furnace yang dilapisi refraktori beroperasi pada kondisi oksidasi dan reduksi. Perlawanan terak sangat tinggi terutama terhadap kapur dan terak yang kaya dengan besi.
e.    Refraktori Khromit
Dibedakan dua jenis refraktori khromit:
Ø  Refraktori Khrom- magnesit, yang biasanya mengandung 15-35 persen Cr2O3 dan 42-50 persen MgO. Senyawa-senayawa tersebut dibuat dengan kualitas yang bermacam- macam dan digunakan untuk membentuk bagian-bagian kritis pada furnace bersuhu tinggi.Bahan tersebut dapat tahan terhadap terak dan gas yang korosif dan memiliki sifat refaktori yang tinggi.
Ø  Refraktori Magnesit-khromit, yang mengandung paling sedikit 60 persen MgO dan 8-18 persen Cr2O3. Bahan tersebut cocok untuk pelayanan pada suhu paling tinggi dan untuk kontak dengan terak/slag yang sangat dasar yang digunakan dalam peleburan baja. Magnesitkhromit biasanya memiliki tahanan spalling yang lebih baik daripada khrom- magnesit.
f.     Refraktori Zirkonia
Zirkonium dioksida (ZrO2) merupakan bahan polymorphic. Penting untuk menstabilkan bahan ini sebelum penggunaannya sebagai refraktori, yang dicapai dengan mencampurkan sejumlah kecil kalsium, magnesium dan cerium oksida, dll. Sifatnya tergantung terutama pada derajat stabilisasi, jumlah penstabil/stabiliser dan jumlah bahan baku orisinalnya. Refraktori zirkonia memiliki kekuatan yang sangat tinggi pada suhu kamar, yang dicapai sampai suhu setinggi 15000C. Oleh karenanya bahan tersebut berguna sebagai bahan konstruksi bersuhu tinggi dalam furnace dan kiln. Konduktivitas panas zirkonium dioksid lebih rendah dari kebanyakan refraktori oleh karena itu bahan ini digunakan sebagai refraktori isolasi suhu tinggi. Zirkonia memperlihatkan kehilangan panas yang sangat rendah dan tidak bereaksi dengan logam cair, dan terutama berguna untuk pembuatan wadah tempat melebur logam pada refraktori dan tempat lainnya untuk keperluan metalurgi. Furnace kaca menggunakan zirkonia sebab bahan ini tidak mudah basah oleh kaca yang meleleh dan tidak mudah bereaksi dengan kaca.
g.    Refraktori oksida (Alumina)
Bahan refraktori alumina yang terdiri dari alumunium oksida dengan sedikit kotoran dikenal sebagai alumina murni. Alumina merupakan satu dari bahan kimia oksida yang dikenal paling stabil. Bahan ini secara mekanis sangat kuat, tidak dapat larut dalam air, steam lewat jenuh, dan hampir semua asam inorganik dan alkali. Sifatnya membuatnya cocok untuk pembentukan wadah tempat melebur logam untuk fusi sodium karbonat, sodium hidroksida dan sodium peroksida. Bahan ini memiliki tahanan tinggi dalam oksidasi dan reduksi pada kondisi atmosfir. Alumina digunakan dalam industri dengan proses panas. Alumina yang sangat berpori digunakan untuk melapisi furnace dengan suhu operasi sampai mencapai 1850oC.
h.   Monolitik
Refraktori monolitik adalah sebuah cetakan tunggal dalam pembentukan peralatan, seperti sendok besar seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 9. Refraktori ini secara cepat menggantikan refraktori jenis kovensional dalam banyak digunakan termasuk furnace-furnace industri. Keuntungan utama monolitik adalah:
Ø  Penghilangan sambungan yang merupakan titik kelemahan
Ø  Metoda penggunaannya lebih cepat
Ø  Tidak diperlukan keakhlian khusus untuk pemasangannya
Ø  Mudah dalam penanganan dan pengangkutan
Ø  Cakupan yang lebih baik untuk mengurangi waktu penghentian dalam perbaikan
Ø  Cakupannya sungguh mengurangi tempat penyimpanan dan menghilangkan bentuk khusus
Ø  Penghematan panas
Ø  Tahanan spalling yang lebih baik
Ø  Stabilitas volum yang lebih besar
Penempatan monolitik menggunakan berbagai macam metoda, seperti ramming, penuangan, gunniting, penyemprotan, dan sand slinging. Ramming memerlukan tool yang baik dan kebanyakan digunakan pada penggunaan dingin dimana penggabungan bahan merupakan hal yang penting. Dikarenakan semen kalsium aluminat merupakan bahan pengikat, maka bahan ini harus disimpan secara benar untuk mencegah penyerapan kadar air. Kekuatannya mulai
berkurang setelah 6 sampai 12 bulan.
Gambar 3.10. Pelapisan Monolitik untuk Ladel
3.1.7.      Bahan – bahan Isolasi
Bahan-bahan isolasi sangat mengurangi kehilangan panas yang melalui dinding. Isolasi dicapai dengan memberikan sebuah lapisan bahan yang memiliki konduktivitas panas rendah antara permukaan panas dibagian dalam furnace dan permukaan luar, jadi menjaga suhu permukaan luar tetap rendah. Bahan-bahan isolasi dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Ø  Batu bata isolasi
Ø  Castables isolasi
Ø  Serat keramik
Ø  Kalsium silikat
Ø  Pelapis keramik
Bahan-bahan isolasi memiliki konduktivitas yang rendah terhadap pori-porinya sementara kapasitas panasnya tergantung pada bulk density dan panas jenisnya. Bahan isolasi udara terdiri dari pori-pori yang sangat kecil dan diisi oleh udara, yang memiliki konduktivitas panas sangat rendah. Panas berlebih merugikan seluruh bahan isolasi, namun pada suhu berapa hal ini terjadi sangat bervariasi. Oleh karena itu pemilihan bahan isolasi harus didasarkan pada kemampuannya menahan konduktivitas panas dan pada suhu tertinggi dimana bahan ini maíz dapat bertahan. Salah satu bahan isolasi yang paling banyak digunakan adalah diatomite, juga dikenal dengan kiesel guhr, yang terdiri dari sejumlah massa kerangka tanaman air yang sangat kecil yang terendapkan ribuan tahun didasar lautan dan danau. Komposisi kimianya adalah silika yang tercemari oleh lempung dan bahan organik. Kisaran luas dari refraktori isolasi dengan perpaduan luas yang sekarang sudah tersedia. Tabel 3.6 memperlihatkan sifat fisik penting dari beberapa refraktori isolasi.
Tabel 3.6. Sifat-sifat fisik bahan-bahan isolasi (BEE, 2005)
No
Jenis
Konduktivitas
Panas pada suhu 400oC
Suhu aman
maksimum (oC)
Kekuatan
remuk kondisi
dingin
(kg/cm2)
Persen
porositas
Bulk
density
(kg/m3)
1
Kualitas
Padatan
Diatomite
0,025
1000
270
52
1090
2
Kualitas
penyerapan
Diatomite
0,014   
800
110
77
540
3
Tanah lempung
0,030   
1500
260
68
560
4
Alumina Tinggi
0,028  
1500-1600
300
66
910
5
Silika
0,040   
1400
400
65
830

3.1.8.      Pelapisan emisivitas yang tinggi
Emisivitas (yakni ukuran kemampuan bahan untuk menyerap dan meradiasikan panas) seringkali dianggap sebagai sifat fisik yang sudah melekat yang biasanya tidak berubah (contoh lainnya adalah masa jenis, panas jenis dan konduktivias panas). Walau begitu, perkembangan pelapis dengan emisivitas tinggi me njadikan emisivitas bahan meningkat. Pelapis dengan emisivitas tinggi diterapkan pada permukaan interior furnace. Gambar 10 memperlihatkan bahwa emisivitas berbagai bahan isolasi berkurang dengan meningkatnya suhu proses. Keuntungan pelapis dengan emisivitas tinggi adalah bahwa emisivitas kurang lebih konstan.
Gambar 3.11. Emisivitas Bahan Refraktori pada Berbagai Suhu (BEE, 2005)
Emisivitas furnace yang beroperasi pada suhu tinggi adalah 0,3. Dengan menggunakan pelapis beremisivitas tinggi nilai ini akan naik mencapai 0,8, mengakibatkan naiknya perpindahan panas melalui radiasi. Manfaat lain dari pelapisan dengan emisivitas tinggi dalam ruang furnace adalah pemanasan yang seragam dan memperpanjang umur refraktori dan komponen logam seperti pipa radian dan elemen pemanas. Untuk furnace intermittent atau dimana diperlukan pemanasan cepat, penggunaan pelapis seperti itu akan menurunkan penggunaan bahan bakar atau daya 25 – 45 persen.
3.1.9.      Perpindahan Kalor
Kalor adalah salah satu bentuk energi yang dapat berpindah dari satu benda ke benda lainnya karena adanya perbedaan suhu. Ketika dua benda yang memiliki perbedaan suhu bertemu maka kalor akan mengalir (berpindah) dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah.
Kapasitas kalor diartikan sebagai banyaknya kalor yang diserap oleh suatu benda bermassa tertentu untuk menaikkan suhu sebesar 1C. Satuan kapasitas kalor dalam sistem International yaitu J/K

Untuk mengetahui banyaknya kalor yang dilepas atau diterima oleh suatu zat digunakan persamaan :

Q=m.c.ΔT

Dimana :
Q = banyaknya kalor yang dilepas atau diterima oleh suatu benda (Joule)
m = massa benda yang menerima atau melepas kalor (kg)
c=kalorjeniszat(J/Kg
C)
ΔT = perubahan suhu (
C)
Tabel 3.7. kalor jenis berbagai zat
3.1.10.  Perhitungan kinerja Furnace
Efisiensi furnace meningkat bila persentase panas yang dipindahkan ke stok atau beban dibagian dalam furnace meningkat. Efisiensi furnace dapat dihitung dengan dua cara, sama halnya dengan boiler: metoda langsung dan metoda tidak langsung. Kedua metoda tersebut diterangkan dibawah ini.
a.    Metode Langsung
Efisiensi furnace dapat ditentukan dengan mengukur jumlah panas yang diserap oleh stok danmembaginya dengan jumlah total bahan bakar yang dipakai.
             
Jumlah panas (Q) yang akan dipindahkan ke stok dapat dihitung dengan persamaan ini:
Q = m x Cp (t1 – t2)
Dimana,
Q = Besarnya panas stok dalam kKal
m = Berat stok dalam kg
Cp= Panas jenis stok rata-rata dalam kKal /kg oC
t1 = Suhu akhir stok dalam oC
t2 = Suhu stok mula- mula sebelum masuk furnace dalam oC
b.    Metode tidakk langsung
Efisiensi furnace dapat juga ditentukan melalui metoda tidak langsung, mirip dengan evaluasi efisiensi boiler. Prinsipnya sederhana: kehilangan panas dikurangkan dari panas yang dipasok ke furnace
1.      Kehilangan panas dalam gas buang
Ø Udara berlebih (EA) = O2 persen/ (21 – O2 persen)
Ø Massa udara yang dipasokkan = (1 + EA/100) x Udara teoritis
Ø % Kehilangan panas dalam gas buang = m x Cp x T x 100
                                                                                                     GCV bahan bakar
Dimana,
m = berat gas buang (udara + bahan bakar)   kg/kg minyak
Cp = panas jenis
T = perbedaan suhu

2.      Kehilangan panas dari kadar air dalam bahan bakar
% Kehilangan panas dari kadar air dalam bahan bakar =
M x {584 + Cp (Tf – Tamb)} x 100
                         GCV bahan bakar
Dimana,
M = kg kadar air dalam 1 kg bahan bakar minyak
Tfg = Suhu gas buang, 0C
Tamb = Suhu ambien, 0C
GCV = Nilai Kalor Kotor bahan bakar, kKal/kg
3.      Kehilangan dikarenakan hidrogen dalam bahan bakar
% Kehilangan panas karena hidrogen dalam bahan bakar =
              9 x H2 x {584 + Cp (Tf – Tamb)} x 100
                                GCV bahan bakar
4.      Kehilangan panas dikarenakan bukaan pada furnace
% Kehilangan panas dari bukaan pada furnace=
(Faktor radiasi black body x emissivitas x area bukaan) x 100
                       Jumlah minyak x GCV minyak
5.      Kehilangan panas melalui kulit furnace
i). Kehilangan panas melalui atap/langit-langit dan dinding (=zona pemanasan dan soaking):
Kehilangan panas melalui atap furnace =
                                                   Kehilangan panas dari atap dan dinding
                                 Luas atap dan dinding
ii) Kehilangan panas dari area selain zona pemanasan dan soaking
Kehilangan panas melalui area lainnya =
Kehilangan panas dari atap dan area lainnya
Luas area lainnya


% Kehilangan panas melalui kulit =
(Kehilangan panas i + kehilangan panas ii) x 100
GCV minyak x Jumlah minyak per jam
Efesiensi Furnace Dengan menjumlahkan kehilangan-kehilangan a sampai f memberikan kehilangan total. Efisiensi furnace d ihitung melelui metoda tidak langsung = 100 – total kehilangan panas



 
BAB IV
PEMBAHASAN

4.2.  Macam – macam Kehilangan Panas Dalam Furnace
Efisiensi tungku meningkat bila persentase panas yang dipindahkan ke stok atau beban dibagian dalam tungku meningkat. Efisiensi tungku dapat dihitung dengan dua cara, sama halnya dengan boiler: metoda langsung dan metoda tidak langsung.
Idealnya, seluruh panas yang dimasukkan ke tungku harus digunakan untuk memanaskan muatan atau stok. Namun demikian dalam prakteknya banyak panas yang hilang dalam beberapa cara sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.1.
Gambar 4.2. kehilangan panas dalam Furnace
Kehilangan panas dalam tungku tersebut meliputi (BEE, 2005 and US DOE, 2004):
Ø 

Kehilangan gas buang: merupakan bagian dari panas yang berada dalam gas pembakaran dibagian dalam tungku. Kehilangan ini juga dikenal dengan kehilangan limbah gas atau kehilangan cerobong.
Ø  Kehilangan dari kadar air dalam bahan bakar: bahan bakar yang biasanya mengandung kadar air sehingga membutuhkan panas lebih yang digunakan untuk menguapkan kadar air dibagian dalam tungku.
Ø  Kehilangan dikarenakan hidrogen dalam bahan bakar yang mengakibatkan terjadinya pembentukan air.
Ø  Kehilangan melalui pembukaan dalam tungku: kehilangan radiasi terjadi bilamana terdapat bukaan dalam penutup tungku dan kehilangan tersebut dapat menjadi cukup berarti terutama untuk tungku yang beroperasi pada suhu diatas 540°C. Kehilangan yang kedua adalah melalui penyusupan udara sebab draft tungku/ cerobong menyebabkan tekanan negatif dibagian dalam tungku, menarik udara melalui kebocoran atau retakan atau ketika pintu tungku terbuka.
Ø  Kehilangan dinding tungku/permukaan, juga disebut kehilangan dinding: sementara suhu dibagiandalam tungku cukup tinggi, panas dihantarkan melalui atap, lantai dan dinding dan dipancarkan ke udara ambien begitu mencapai kulit atau permukaan tungku.
Ø  Kehilangan lainnya: terdapat beberapa cara lain dimana panas hilang dari tungku, walupun menentukan jumlah tersebut seringkali sulit. Beberapa diantaranya adalah:
a.    Kehilangan panas tersimpan: bila tungku mulai dinyalakan maka struktur dan isolasi tungku juga dipanaskan, dan panas ini hanya akan meninggalkan struktur lagi jika tungku dimatikan. Oleh karena itu kehilangan panas jenis ini akan meningkat dengan jumlah waktu tungku dihidup-matikan.
b.    Kehilangan selama penanganan bahan: peralatan yang digunakan untuk memindahkan stok melalui tungku, seperti belt conveyor, balok berjalan, bogies, dll. juga menyerap panas. Setiap kali peralatan meninggalkan tungku mereka akan kehilangan panasnya, oleh karena itu kehilangan panas meningkat dengan sejumlah peralatan dan frekuensi dimana mereka masuk dan keluar tungku
c.    Kehilangan panas media pendingin: air dan udara digunakan untuk mendinginkan peralatan, rolls, bantalan dan rolls, dan panas hilang karena media tersebut menyerap panas.
d.   Kehilangan dari pembakaran yang tidak sempurna: panas hilang jika pembakaran berlangsung tidak sempurna sebab bahan bakar atau partikel yang tidak terbakar menyerap panas akan tetapi panas ini tidak disimpan untuk digunakan.
e.    Kehilangan dikarenakan terjadinya pembentukan kerak.
4.3.   Spesifikasi Furnace Preheating Produksi Baja Profil
a.       Suhu operasi                                                               = 1093,02oC
b.      Suhu gas buang keluar setelah pemanas awal            = 750oC
c.       Suhu ambien                                                              = 40oC
d.      Suhu udara yang diberi pemanasan awal                   = 254,55oC
e.       Specific gravity bahan gas                                          = 0,92
f.       Pemakaian bahan bakar gas  rata-rata                        = 953,3784 kg/jam
g.      Nilai kalor gas                                                            = 13143,654 kkal/kg
h.      Persentase O2 rata-rata dalam gas buang                  = 11,9 %
i.        Udara teoritis yang diperlukan untuk membakar 1 kg gas = 12 kg
j.        Berat billet                                                                 = 84604,16 kg/jam
k.      Panas jenis bilet                                                          = 0,12 kKal/kg/0C
l.        Ketebalan dinding tungku (D)                                   = 450 mm
m.    Saluran keluar ekstraksi bilet (X)                               = 600 mm x 600 mm

4.4.   Penghitungan Kinerja Furnace
Efisiensi tungku meningkat bila persentase panas yang dipindahkan ke stok atau beban dibagian dalam tungku meningkat. Efisiensi tungku dapat dihitung dengan dua cara, sama halnya dengan boiler: metoda langsung dan metoda tidak langsung.

4.4.1. Metode Langsung
Efisiensi tungku dapat ditentukan dengan mengukur jumlah panas yang diserap oleh stok dan membaginya dengan jumlah total bahan bakar yang dipakai.
             
Jumlah panas (Q) yang akan dipindahkan ke billet dapat dihitung dengan persamaan ini:
Q = m x Cp (t1 – t2)
Dimana,
Q = Besarnya panas stok dalam kKal
m = Berat stok dalam kg
Cp= Panas jenis billet rata-rata dalam kKal /kg oC
t1 = Suhu akhir stok dalam oC
t2 = Suhu stok mula- mula sebelum masuk tungku dalam oC

Ø  Q  = 84604,16 kg/h x 0,1075 kkal/kg/kg oC x (1093,02oC-40 oC)
= 9577161,3 kkal/h
Ø  Panas dalam bahan bakar yang dipakai untuk pemanasan billet
= kondumsi bahan bakar x  GCV bahan bakar
= 953,3784 kg/h x 13143,654 kkal/kg
=12530875,9 kkal/h
Ø  Efisiensi furnace
 
Sehingga perkiraan kehilangan panas 100% - 76,43% =23,57%

4.4.2. Metode Tidak Langsung
a.        Kehilangan Panas Dalam Gas Buang
Ø  Udara berlebih (EA) = O2 persen/ (21 – O2 persen)
= 11,9 % / (21-11,9%)
=1,30769231
Ø  Massa udara yang dipasokkan = (1 + EA) x Udara teoritis
= (1+1,30769231) x 12
=15,692 kg/kg bahan bakar gas
Ø  % Kehilangan panas dalam gas buang = m x Cp x T x 100
                                                                                   GCV bahan bakar
Dimana,
m  = berat gas buang (udara + bahan bakar)= 15,692 kg+ 1kg=16,692 kg/kg gas
Cp = panas jenis
T = perbedaan suhu
= 16,692 kg x 0,24 kkal/kg oC x (718,9 – 40 oC)
                                13143,654 kkal/kg
= 0,2069 x100%
= 20,69 %
b.      Kehilangan Panas Dikarenakan Bukaan Pada Furnace
Kehilangan panas dikarenakan bukaan pada tungku
% Kehilangan panas dari bukaan pada furnace
= (Faktor radiasi x black body x emissivitas x area bukaan) x 100
                       Jumlah minyak x GCV minyak
Faktor radiasi = 0,6 (gambar 4.2)
Radiasi black body = 20 kkal/kg/cm2/h (gambar 4.3)
Luas area bukaan = 60cm x 60 cm = 3600 cm2
Emisivitas = 0,72 ( gambar 4.4)

=   0.6 x 20  x 0,72  x  3600     
953,3784 kg/h x13143,654 kkal/kg
= 2,4822 x 10-3 x100% = 0,24822 %
Gambar 4.3. Faktor radiasi untuk Pelepasan panas melalui Bukaan relatifterhadap Kualitas Panas yang Dilepas dari Black Body
Ratio = 0,6  = 1,33
           0,45
Gambar 4.4. Radiasi Black Body pada Berbagai Suhu
Gambar 4.5. Emisivias bahan refraktori pada berbagai suhu
c.       Kehilangan Yang Tidak Terhitung
Kehilangan yang tidak terhitung tidak dapat dihitung kecuali jika kehilangan jenis lainnya diketahui.

Total kehilangan panas      = 20,69 % + 0,24822 %
                                          = 20,93822 %
Efisiensi furnace dihitung melalui metode tidak langsung
= 100%- 20,93822 %
= 79,06178 %



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Dari hasil analisa perhitungan pada furnace produksi baja profil di PT Krakatau Wajatama dapat disimpulkan bahwa untuk efisiensi kinerja furnace dihitung dengan menggunakan 2 metode yaitu metode langsung dan metode tidak langsung didapat bahwa:
a.       Analisa Efisiensi furnace dengan metode langsung = 76,43%
b.      Analisa efisiensi furnace dengan metode tidak langsung = 79,06178 %

4.2. Saran
Dalam melakukan analisa perhitungan efisiensi furnace di pt wajatama ini penulis memberikan saran sebagai berikut:
a.       Pengukuran pada dinding kulit luar furnace sangat diperlukan guna untuk menghitung panas yang hilang melalui  dinding kulit luar furnace sehingga bisa didapat penyebab hilangnya panas melalui dinding kulit luar furnace.
b.      mengoperasikan tungku pada suhu optimalnya.
Tabel 5.1 suhu optimal beberapa furnace

























 

2 komentar:

  1. referensi untuk menghitung efisiensi furnace secara langsung dan tidak langsung dari mana ya mas??

    BalasHapus
  2. mas boleh minta foto stand rolling mill pada proses deformed bar? terimakasih salam solver

    BalasHapus